Selasa, 22 Maret 2011

PSIKOLOGI SASTRA


BAB II
KAJIAN TEORISTIS
Dalam pembahasan kerangka teori akan dibahas beberapa hal yang dapat digunakan dalam psikoanalisis tokoh utama “Alina” dalam novel “Kepribadian Alina” karya Suminaring Prasojo. Dalam pembahasan ini penulis mengkaji teori-teori tentang. 1). Pengertian Novel, 2) Pengertian dan definisi teori psikologi (Psikoanalisis) sastra.

2.1.            Pengertian Novel
               Novel merupakan genre sastra. Sidarta dan Batos (dalam Tarigan, 1986:164) menyatakan bahwa novel adalah bentuk karya sastra yang menceritakan sebuah bentuk kejadian yang luar biasa dari kehidupan. Bentuk kejadian dalam novel timbul karena adanya konflik yang menyebabkan terjadinya perubahan nasib diri tokoh-tokohnya.
         Novel sebagai bagian dari prosa fiksi atau salah satu bentuk prosa fiksi. Sementara prosa fiksi itu sendiri merupakan salah satu genre sastra lain selain cepen. Kritik dan essai (Mursal, 1990:11). Novel berasal dari kata Novellus yang berarti baru. Dikatakan baru karena novel pemunculannya lebih akhir dibandingkan dengan bentuk karya sastra lainnya. Mursal (1990:12) mengemukakan bahwa novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia dalam jangka waktu lama dan didalamnya terjadi konflik yang menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup para pelakunya.
               Menurut Nugriyantoro (1995:15) novel bersifat relistis. Sedangkan roman bersifat pitik dan epik. Hal itu menunjukkan bahwa keduanyaberasal dari bentuk-bentuk naratif non fiksi, misalnya surat, biografi, kronik atau sejarah. Jadi novel berkembang dari dokumen-dokumen, dan dan secara stilistika menekankan pentingnya detil dan bersifat mimesis. Novel mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologis yang lebih mendalam. Novel lebih mencerminkan gambaran tokoh  nyata, tokoh yang berangkat dari realitas sosial. Jadi novel merupakan tokoh yang lebih memiliki derajat lifelike disamping merupakan tokoh yang bersifat ekstriver.
               Dari pendapat diatas maka karya sastra dalam hal ini merupakan bentuk kreatif, dalam novel terdapat kebebasan kreatif yang dimiliki pengarang. Pandangan pengarang ditawarkan lewat kreatifitasnya sehingga mengarang mampu mewujudkan dunianya sendiri, pengarang dapat dengan mudah memberikan sebuah pandangan sebagai pesan bagi pembaca, dan hal tersebut dapat dilihat dari tingkah laku tokoh-tokoh dalam cerita sesuai dengan pandangan pengarang.

2.2.            Pengertian dan Definisi Psikologi Sastra
Munculnya pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris. Yaitu Tafsiran Mimpi ( The Interpretation of Dreams ) danThree Contributions to A Theory of Sex atau Tiga Sumbangan Pikiran ke Arah Teori Seks dalam dekade menjelang perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai eksperimen tekhnik simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan pengertian libido ala Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan Puritanisme(kerohanian ketat) dan tata cara Viktorianoisme(pergaulan kaku).Dahulu kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan pergunjingan. Sejak zaman Yunani, kejeniusan dianggap kegilaan(madness) dari tingkat neurotik sampai psikosis. Penyair dianggap orang yang kesurupan (possessed). Ia berbeda dengan yang lainnya, dan dunia bawah sadarnya yang disampaikan melalui karyanya dianggap berada di bawah tingkat rasional. Namun, pengarang tidak sekedar mencatat gangguan emosinya ia juga mengolah suatu pola arketipnya, seperti Dostoyevsky dalam karyanya The Brother Kamarazov atau suatu pola kepribadian neurotik yang sudah menyebar pada zaman itu. Kemudian, ilmu tentang emosi dan jiwa itu berkembang dalam penilaian karya sastra.(Psikoanalisis Sastra)

Dari apa yang telah tertulis dalam latar belakang, bahwasanya pada hakikatnya , psikologi tidak dapat dipisahkan dari mitoligi Yunani Kuno. Beberapa kasus dalam psikologi, misalnya “histeria” dan “narsisme” berasal dari mitologi Yunani Kuno. Karena sastra adalah kepanjangan mitologi, maka sastra, langsung atau tidak , juga merupakan kepanjangan psikologi. Dalam mitologi ada tokoh-tokoh, demikian juga dalam karya sastra. Masing - masing tokoh mempunyai kepentingan dan masalah, dan karenanya ada kepentingan dan dengan adanya masalah inilah mereka saling berinteraksi. Dari interaksi inilah pembaca dapat menyimak watak masing – masing tokoh.
Disamping itu juga, menurut pandangan Marx kensekuensi kebutuhan kita untuk bekerja berdasarkan hubungan social, kelas social, dan bentuk politik yang dihasilkannya, Freud melihat impliksinya pada kebutuhan fisik. Paradok dan kontradiksi yang mendasari ialah bahwa kita menjadi seperti sekarang ini hanya melalui represi besar-besaran atas elemen yang menjadi dasar bagian penciptaan kita. Kita tentu saja tidak menyadari hal ini, sama dengan laki-laki dan perempuan menurut Karl Marx yang secara umum tidak sadar akan proses social yang menentukan hidup mereka. Bahkan menurut definisi kia mungkin menyadari fakta ini, karena tempat kita mnyingkirkan hasrat yang tak mampu kita penuhi dikenal dengan nama bawah sadar. Namun, satu petanyaan yang langsung timbul adalah mengapa manusialah yang menjadi hewan neurotic. Mungkin saja ini adalah sebuah Idealisme Romantik atas makhluk-makhluk demikian, tapi bagi pihak luar mereka kelihatannya dapat menyesuaikan diri dengan cukup baik, meskipn mungkin mereka pernah tercatat satu atau dua kasus kelumpuhan karena “hysteria”.
“jalan yang mulia” menuju alam bawah sadar adalah melalui mimpi. Mimpi memungkinkan kita beberapa kali melihat pemenuhan simbolis dari keinginan tak sadar, dan mimpi secara langsung, bisa jadi hasilnya langsung mengejutkan dan mnegusik kita hingga kita terbangun.
Mimpi menyediakan aksen utama tetapi bukan satu-satunya, terhadap bawah sadar. Ada pula yang disebut Frued sebagai “Parapraksis”, salah satu ucapan yang tidak dapat dijelaskan, kehilangan ingatan, salah bertindak, salah faham dan salah penempatan yang dapat dilacak kearah keinginan dan maksud tak sadar. Kehadiran bawah sadar juga terungkap dalam cadaan, yang bagi Freud sebagian besar memiliki isi yang bersifat libido, cemas atau agressif. Tetapi kerja bawah sadar yang paling merusak adalah  gangguan psikologi dalam satu atau lain bentuk. Manusia memiliki hasrat tak sadar yang tidak mau disangkal, tetapi juga tidak berani menemukan pelepasan yang nyata, dalam hal ini hasrat memaksakan diri keluar dari alam bawah sadar, ego memblokirnya secara defensive, dan hasil dari konflik internal inilah yang kita sebut dengan neurosis. Melindungi dirinya dari hasrat tak sadar sekaligus diam-diam melakukannya. Neurosis yang dimekian bersifat obsesif (keharusan), histeris (lengan lumpuh tanpa alasan organic yang jelas), atau fobia (ketakutan tak beralasan terhadap ruang terbuka atau hewan tertentu).
Tujuan Psikoanalis ini adalah mengungkapkan penebab-penyebab tersembunyi dari neurosis agar dapat membebaskan diri dari konfliknya, dengan demikian menghilanglah gejala-gejala yang membuat stress.
Hubungan antara psikologi dengan sastra sebenarnya telah lama ada, semenjak usia ilmu itu sendiri. Akan tetapi penggunaan psikologi sebagai sebuah pendekatan dalam penelitian sastra belum lama dilakukan. Menurut Robert Downs ( 1961: 1949 ) dalam Abdurrahman, (2003 : 1), bahwa psikologi itu sendiri bekerja pada suatu wilayah yang gelap, mistik dan paling peka terhadap bukti-bukti ilmiah. Dan wilayah yang gelap itu memang ada pada manusia, dari wilayah yang gelap itulah kemudian muncul perilaku serta aktifitas yang beragam, termasuk perilaku baik, buruk, kreatif, bersastra dan lain-lain.
Menurut Harjana ( 1991: 60) pendekatan psikologi sastra dapat diartikan sebagai suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang merupakan pancaran dalam menghayati dan mensikapi kehidupan. Disini fungsi psikologi itu sendiri adalah melakukan penjelajahan kedalam batin jiwa yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk tindakan manusia dan reponnya terhadap tindakan lainnya.
Menurut Wellek dan Warren(1993: 81-93), psikologi sastra memasuki bidang kritik sasra lewat beberapajalan, antara lain: Pembahasa, tentang proses penciptaan sastra. Pembahasan psikologi terhadap pengarangnya (baik sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang peneliti).Pembicaraan tentang ajaran dan kaidah psikologi yang dapat ditimba dari karya sastra.Pengaruh karya sastra terhadap pembacanya.
Dibawah ini akan dijelaskan beberapa konsep psikologi sastra dari beberapa tokoh, diantaranya Sigmund Freud, Carl Gustav Jung dan Mortimer Adler.
a.      Sigmund Freud
Dalam konsepnya, Freud bertolak dari psikologi umum, yaitu dia menyatakan bahwa dalam diri manusia ada tiga bagian, yaitu id, ego dan super-ego. Jika ketiganya berkerja secara wajar dan seimbang, maka manusia akan memperlihatkan watak yang wajar pula. Namun jika ketiga unsur tersebut tidak bekerja secara seimbang, dan salah satunya lebih mendominasi, maka akan terjadilah peperangan dalam batin atau jiwa manusia, dengan gejala-gejala resah, gelisah, tertekan dan neurosis yang menghendaki adanya penyaluran. Dalam penggambaannya tentang pengarang dalam mencipta karya sastra, Freud mengatakan bahwa pengarang tersebut diserang penyakit jiwa yang dinamakan neurosis bahkan bisa mencapai tahap psikosis, seperti sakit syaraf dan mental yang membuatnya berada dalam kondisi yang sangat tertekan, keluh kesah tersebut mengakibatkan munculnya ide dan gagasan yang menggelora yang menghendakinya agar disublimasikan dalam bentuk karya sastra. Selanjutnya, dalam bukunya ‘Tafsir Mimpi ‘, Freud mengungkapkan salah satu metode  menafsirkan teks sastra. Freud berpendapat bahwa sastra adalah merupakan bagian dari mimpi. Jadi analisa yang diterapkan dalam sastra adalah seperti menganalisa orang yang sakit melalui mimpi. Maka dengan demikian analisa-analisa tersebut meliputi (Rahmani, 2004: 106):
1.         Taksif, yaitu adanya unsur seperti seseorang, gambar atau ucapan dalam mimpi.
2.         Izahah, yaitu merupakan suatu rangkaian yang berhubungan dengan inti.. ini suatu perasaan yang terurai dari bentuk aslinya dan berubah menjadi bentuk lain yang tidak ada hubungannya dan mudah digambarkan.
3.         Menerima bentuk lain, mudah dibentuk, jadi berbagai ide yang tidak disadari, bisa berubah menjadi bentuk-bentuk tertentu. Karena pada dasarnya mimpi merupakan produk visual yang dianggap oleh si pemimpi sebagai sebuah peristiwa.
4.         Penafsiran, yaitu menjelaskan makna yang terkandung pada suatu materi.
Pandangan Freud tersebut ditafsirkan oleh Dr. Ernest Jones dengan tiga tujuan, yaitu: Penafsiran  langkah-langkah proses seni. Tujuan-tujuan nir-sadar para seniman. Dorongan-dorongan pribadi yang melahirkan imajinasi.
Jadi, seniman menurut Freud adalah orang yang sakit, menurutnya seniman tersebut adalah sosok yang labil, mudah bergejolak dan dengan menghasilkan seni ia berusaha menjaga dirinya dari keterpurukan mental. Jadi, ibaratnya seni itu merupakan penawar  dahaga bagi seorang seniman.
Teori Freud mamandang bahwa motivasi fundamental dari semua perilaku manusia adalah menghindari rasa sakit dan memperoleh kenikmatan.  Bentuk ini secara filosofis terkenal sebagai hedonisme. Alasan mengapa sebagian besar mayoritas membaca puisi, novel, drama adalah karena mereka menganggap nikmat. Fakta ini begitu jelas sehingga jarang disebut di universitas-universitas.
Id
Fungsi satu-satunya dari id adalah untuk mengusahakan segera tersalurkannya kumpulan-kumpulan energi atau ketegangan, yang dicurahkan dalam jasad oleh rangsangan-rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar.
Fungsi id ini menunaikan prinsip kehidupan yang asli atau yang pertama yang dinamakan prinsip kesenangan (pleasure principle). Tujuan dari prinsip kesenangan ini adalah untuk mengurangi ketegangan. Ketegangan dirasakan sebagai penderitaan. Tujuan dari prinsip kesenangan ini dapat dikatakan terdiri dari usaha mencegah dan menemukan kesenangan.
Dalam bentuk paling mulanya, id adalah suatu alat refleksi, seperti ketika cahaya sampai mata dan menyakitkan maka reflek adalah menutup mata. Jika ketegangan yang terjadi dalam jasad dapat dihilangkan oleh tindakan refleksi, maka tidak perlu perkembangan rohaniah yang lebih tinggi. Tetapi, banyak ketegangan yang tidak dapat ditampung oleh alat refleksi untuk meghilangkannya, mislanya jika terjadi kontraksi lapar dalam perut bayi, kontraksi itu tidak secara otomatis menimbulkan makanan.
Setiap bayi lapar, ia akan diberi makanan. Selama diberi makanan ini, bayi ini melihat, mencicip, mencium, dan merasa makanan itu, dan pengamatan-pengamatan ini disimpan dalam ingatannya. Melalui ulangan-ulangan, makanan menjadi terhubung dengan peredaan ketegangan. Proses yang menimbulkan suatu kenangan dari suatu ketegangan disebut proses primer (primary process).
Proses primer ini mencoba meredakan ketegangan dengan mendirikan apa yang oleh Freud disebut suatu identitas pengamatan (an identity of perception). Dengan identitas pengamatan ini Freud maksudkan, bahwa id menganggap suatu kenangan itu identik denan pengamatan sendiri.
Menurut Freud, id adalah sumber primer dari energi rohaniah dan tempat berkumpul naluri-naluri. Id lebih dekat hubungannya dengan tubuh dan proses-prosesnya daripada dengan dunia luar. Energinya berada dalam keadaan bergerak (mobil) sehingga energi itu dapat diredakan dengan segera atau dipindahkan dari suatu benda ke benda lain. Ia tidak berubah menurut masa; ia tidak dapat diubah oleh pengalaman, karena ia tidak ada hubungan dengan dunia luar. Akan tetapi id dapat dikontrol dan diawasi oleh ego.
Freud berbicara tentang id sebagai suatu kenyataan rohaniah yang sebenarnya. Yang dimaksudkan ialah, bahwa id adalah kenyataan subyektif yang primer, dunia batin yang ada sebelum seorang individu mempunyai suatu pengalaman tentang dunia luar.
Freud percaya, bahwa pengalaman-pengalaman yang diulangi secara berkali-kali dan secara intensif dalam banyak individu dari generasi turun temurun menjadi simpanan-simpaan yang tetap dalam id.
Id adalah dunia kenyataan yang subyektif dalam mana pengejaran kesenangan dan pencegahan penderitaan merupakan satu-satunya perbuatan yang berarti.
Freud mengakui bahwa id adalah bagian kepribadian yang tersembunyi dan tidak dapat dimasuki, dan sebagian kecil yang diketahui mengenai hal itu didapat sebagai hasil penyelidikan tentang impian dan gejala-gejala penyakit syaraf.
Seseorang misalnya yang bertindak secara impulsive untuk melempar batu ke jendela berada di bawah pengaruh id. Bersamaan dengan itu, seseorang yang mebuang banyak waktu untuk berkhayal dan bergerak dala awangan cita-cita, dikuasai oleh id-nya. Id tidak berpikir, ia hanya mengangankan atau bertindak.
Ego
Kedua proses yang dilalui id untuk meredakan ketegangan, yaitu gerak-gerik impulsive dan pembentukan gambaran (pemuasan keinginan) tidak cukup untuk mencapai tujuan evolusi yang besar menuju kelangsungan dan perbiakan. Hubungan timbale balik antara seseorang dengan dunia memerlukan pembentukan suatu system rohaniah baru, yaitu ego.
Berlainan dengan id yang dikuasai oleh prinsip kesenangan, ego dikuasai oleh prinsip kenyataan (reality principle). Tujuan prinsip kenyataan adalah untuk menangguhkan peredaan energi sampai benda nyata yang akan memuaskan telah diketemukan atau dihasilkan. Penangguhan suatu tindakan berarti bahwa ego harus dapat menahan ketegangan sampai ketegangan itu dapat diredakan dengan suatu bentuk kelakuan yang wajar. Prinsip kenyataan diladeni oleh suatu proses yang disebut Freud sebagai proses sekunder (secondary process), oleh karena proses ini berkembang sesudah dan melingkupi proses primer dari id. Proses sekunder terdiri dari usaha menemukan atau menghasilkan kenyataan dengan jalan suatu rencana tindakan yang telah berkembang melalui pikiran dan akal (pengenalan) Proses sekunder biasa disebut pemecahan soal atau pemikiran.
Proses sekunder menunaikan apa yang tidak dapat dilakukan oleh proses primer, yaitu untuk memisahkan dunia pikiran yang subyektif dari dunia kenyataan wujud yang obyektif. Proses sekunder tidak melakuka kesalahan seperti proses primer, ialah: menganggap gambaran suatu benda dan itu sendiri.
 Setiap orang memiliki potensi-potensi pembawaan untuk berpikir dan menggunakan akalnya. Pelaksanaan potensi ini dicapai melalui pengalaman, latihan dan pendidikan.

Superego
Superego adalah cabang moril atau cabang keadilan dari kepribadian. Superego lebih mewakili alam ideal daripada alam nyata. Superego terdiri dari dua anak system, ego ideal dan hati nurani. Ego ideal sesuai dengan pengertian-pengertian anak tentang apa yang secara moril dianggap baik oleh orang tuanya. Agar superego itu mempunyai pengawasan terhadap anak seperti yang dmiliki orang tuanya, adalah penting bagi superego untuk mempunyai kekuatan untuk mendesakkan ukuran-ukuran morilnya, dengan jalan penghargaan dan hukuman. Penghargaan dan hukuman ini diberikan kepada ego, karena ego, disebabkan pengawasannya atas tindakan seseorang, dianggap bertanggung jawab untuk terjadinya tindakan-tindakan yang moril dan immoral.
Penghargaan dan hukuman rohaniah yang dipergunakan oleh super ego masing-masing adalah perasaan bangga dan perasaan bersalah atau perasaan kurang harga diri. Ego merasa bangga jika ia telah berkelakuan baik atau telah mengandung pikiran-pikiran yang baik, dan ia merasa malu tentang dirinya sendiri kalau ia telah mengalah pada godaan.
Superego adalah wakil dalam kepribadian dari ukuran-ukuran dan cita-cita tradisional masyarakat sebagai yang disampaikan oleh orang tua kepada anak-anak. Dalam hubungan ini harus diingat, bahwa superego anak itu bukanlah pencerminan dari kalakuan orang tua, tetapi pencerminan dari superego orang tua. Disamping orang tua, alat-alat masyarakat lainnya memberi bantuan dalam pembentukan superego anak. Guru, pendeta, polisi, dan siapa saja yang mempunyai kedudukan berkuasa atas anak .
Tujuan apakah yang diladeni oleh superego ini? Superego terutama meladeni tujuan untuk mengontrol dan mengatur gerak hati yang kalau dinyatakan secara sewenang-wenang akan membahayakan kemantapan masyarakat. Gerak hati itu adalah seks dan agresi.
Jika id dianggap sebagai hasil dari evolusi dan sebagai wakil rohaniah dari pembawaan biologis, dan ego sebagai hasil hubungan timbale baki dengan kenyataan yang obyektif dan ligkungan proses rohaniah yang lebih tinggi, maka superego dapat dianggap hasil sosialisasi dan adaptasi tradisi kebudayaan.
Ego dibentuk dari id dan super ego dibentuk dari ego. Ketiganya saling mempengaruhi. Id berkata, “saya mau itu”; superego berkata “alangkah buruknya”, dan ego berkata, “saya takut”.
Dalam tahun-tahun permulaan dari perumusan psikoanalisa yang menjadi pusat konsep teori Freud adalah alam tak sadar. Dalam rumusan kemudian, kebanyakan dari soal-soal yang dahulu diletakkan pada alam tak sadar itu telah menjadi id, dan perbedaan structural antara alam sadar dan alam tak sadar diganti dengan susunan yang terdiri dari tiga bagian, yaitu id, ego dan superego. Alam sadar hanyalah suatu irisan yang tipis dari keseluruhan jiwa, sebagaimana halnya dengan gunung es, bagian yang terbesar daripadanya terletak di bawah sadar.
Dari uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa kepribadian sebagai suatu system energy yang rumit dan bentuk energi yang mengatur kepribadian dan memungkinkannya melakukan pekerjaan disebut energi rohaniah. Darimana datangnya energi itu ? Ia datang dari energi rohaniah. Bagaimana terjadinya perubahan ini tidak diketahui. Tempat simpanan dari energi rohaniah itu adalah id. Energi dari id dipergunakan untuk memuaskan naluri-naluri poko dari kehidupan dan kematian. Dengan perantaraan mekanisme identifikasi, energi ditarik dari tempat simpanan dan dipergunakan untuk mendorong ego dan superego.
pada lingkungan adalah menilai realita untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Sedangkan Superego sendiri adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan nilai baik-buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan Ego yaitu Id.
Kesadaran dan Ketidaksadaran
Pemahaman tentang kesadaran dan ketidaksadaran manusia merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pemikiran Freud. Menurutnya, kunci untuk memahami perilaku dan problema kepribadian bermula dari hal tersebut. Ketidakasadaran itu tidak dapat dikaji langsung, karena perilaku yang muncul itu merupakan konsekuensi logisnya.
Sedangkan kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Hal ini dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, dimana bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan.
Demikianlah juga halnya dengan kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang tertekan akan dihimpun dalam alam ketidaksadaran.
Kecamasan
Bagian yang tidak kalah penting dari teori Freud adalah tentang kecemasan. Kecemasan ini menurutnya berkembang dari konflik antara sistem id, ego dan superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada. Menurut Freud kecemasan itu ada tiga: kecemasan realita, neurotik dan moral.
(1) Kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada ancaman nyata.
(2) Kecemasan neurotik adalah rasa takut kalau-kalau instink akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat  sesuatu yang dapat mebuatnya terhukum, dan
(3) Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma moral.
Mekanisme Pertahan Ego
Untuk menghadapi tekanan kecemasan yang berlebihan, sistem ego terpaksa mengambil tindakan ekstrim untuk menghilangkan tekanan itu. Tindakan yang demikian itu, disebut mekanisme pertahanan, sebab tujuannya adalah untuk mempertahankan ego terhadap tekanan kecemasan. Dalam teori Freud, bentuk-bentuk mekanisme pertahanan yang penting adalah:
a.   represi; ini merupakan sarana pertahanan yang bisa mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan dan mengancam keluar dari kesadaran,
b.   memungkiri; ini adalah cara mengacaukan apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat seseorang dalam situasi traumatik,
c.   pembentukan reaksi; ini adalah menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran,
d.   proyeksi; ini berarti memantulkan sesuatu yang sebenarnya terdapat dalam diri kita sendiri ke dunia luar,
e.   penggeseran; merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan dengan menyalurkan perasaan atau impuls dengan jalan menggeser dari objek yang mengancam ke “sasaran yang lebih aman”,
f.    rasionalisasi; ini cara beberapa orang menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang babak belur,
g.   sublimasi; ini suatu cara untuk mengalihkan energi seksual kesaluran lain, yang secara sosial umumnya bisa diterima, bahkan ada yang dikagumi,
h.   regresi; yaitu berbalik kembali kepada prilaku yang dulu pernah mereka alami,
i.    introjeksi; yaitu mekanisme untuk mengundang serta “menelaah” sistem nilai atau standar orang lain,
j.    konpensasi,
k.   ritual dan penghapusan.
Tahap Perkembangan Kepribadian
Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap. Menurut Freud, kepribadian orang terbentuk pada usia sekitar 5-6 tahun, meliputi beberapa tahap yaitu tahap oral, tahap anal, tahap phalik, tahap laten, dan tahap genital.
         b.   Mortimer Adler.

Simon Adler merupakan salah seoang murid Freud. Namun dia banyak menyangkal pendapat-pendapat dari Freud sendiri. Teori Adler terkenal dengan sebutan Inferiority complex atau perasaan rendah diri, yang pada dasarnya adalah merupakan teori dari Al-Jahidt. Teori tersebut memungkinkan Adler menyelami teks untuk mencari bentuk-bentuk pengganti kekurangan dalam diri. Akan tetapi dalam penerapannya Adler tidak bisa mencapai kepuasan seperti kepuasan yang dicapai oleh Freud.

Dalam dunia kritik Arab, teori diterapkan oleh al-Mazini ketika dia beranggapan bahwa Basyar (yang merupakan penyair jahili dan seorang budak ) banyak bercerita tentang seseorang dan budak. Mazini mengatakan bahwa Basyar selalu merasa kekurangan dalam dua hal, pertama dia buta, dia seorang budak belian.




         c.   Carl Gustav Jung.

Teori Jung berbeda dengan teori Freud tentang Nirsadar individu, Dia terkenal dengan teoinya tentang Nirsadar social bahwa yang demikian tersebut merupakan bentuk da gejala sosial bukan individu penyair, penyair hanya mengungkapkan apa yang terjadi dalam fenomebna-fenomena sosial yang terjadi kemudian mengungkapkannya dalam bentuk karya sastra.
Jung berpendapat bahwa seorang seniman ketika mengungkapkan dengan berbagai bentuk pada hakekatnya ia mengambil contoh-contoh ideal yang ada disetiap serangkaian pengambilan atau pengungkapan, seperti gambaran-gambaran tentang ketidaksadaran seorang penyair dan serangkaian bentuk dalam syi’ir.