Rabu, 20 Juli 2011

Perjalanan Hidup dan Penemuan Jati diri

Sepanjang masa orang mencari sesuatu yang lebih luhur daripada dirinya sendiri, yang ada di balik kemakmuran materi - sesuatu yang kita sebut kebenaran atau Tuhan atau kenyataan, satu keadaan tanpa waktu - sesuatu yang tak bisa terganggu oleh keadaan sekitar, oleh akal atau oleh kebusukan hati manusia. Orang senantiasa bertanya: apakah artinya semua ini? Apakah hidup mempunyai arti? Orang melihat kebingungan hidup yang luar biasa, keganasan-keganasan, pemberontakan, peperangan, perpecahan tanpa akhir dalam agama, ideologi dan kebangsaan; dan dengan perasaan kecewa yang mendalam, apakah yang dapat kita lakukan, apakah yang kita sebut hidup itu, apakah di balik semua ini ada sesuatu? Karena tidak menemukan sesuatu tak bernama yang diberinya seribu nama, sesuatu yang senantiasa dicarinya, maka orang telah mengembangkan kepercayaan-kepercayaan pada seorang juru selamat atau sebuah cita-cita dan kepercayaan selalu menimbulkan kekerasan. Dalam perjuangan yang tak henti-hentinya dan yang kita sebut kehidupan ini, kita berusaha mendirikan satu tata krama tingkah laku yang disesuaikan dengan masyarakat tempat kita dibesarkan apakah itu sebuah masyarakat komunis atau apa yang disebut masyarakat bebas. Kita menerima suatu pola tingkah laku yang merupakan bagian dari tradisi kita sebagai orang Hindu, orang Islam atau orang Kristen atau golongan apapun lainnya. Kita mengharapkan pimpinan dari seseorang yang memberitahu kita tentang apa itu kelakuan yang baik atau buruk , apa itu yang disebut pikiran yang benar atau yang salah , dan dalam menganut pola tertentu ini kelakuan dan pikiran kita menjadi mekanis, jawabanjawaban kita terhadap peristiwa-peristiwa yang kita alami menjadi otomatis. Kita dengan sangat mudah dapat mengamati hal ini dalam diri kita sendiri.

Selama berabad-abad kita telah diindoktrinasi oleh para guru kita, para pemimpin kita, buku-buku kita, orang-orang yang kita anggap suci. Kita berkata: ”Beritahu aku segalanya tentang hal itu ---apa yang ada di balik bukit-bukit, gunung-gunung dan bumi ini?” kemudian kita merasa puas dengan deskripsi yang mereka berikan. Itu berarti bahwa hidup kita didasarkan pada kata-kata belaka dan hidup kita bersifat dangkal dan kosong. Kita tidak orisinil. Selama ini kita hidup berdasarkan apa yang telah diberitahukan kepada kita, baik karena terdorong oleh kecenderungan-kecenderungan, sifat-sifat bawaan kita, ataupun karena kita terpaksa menerima segalanya itu karena situasi atau lingkungan. Kita merupakan hasil dari segala macam pengaruh dan tak ada apapun yang baru di dalam diri kita, tak ada apapun yang telah kita temukan sendiri dalam diri kita; tak ada yang orsinil, murni, jelas.
Dalam seluruh sejarah teologi menunjukkan bahwa kita telah diyakinkan oleh pemimpin-pemimpin agama, bila kita melakukan upacaraupacara tertentu, mengulang do'a-do'a atau mantra-matra tertentu,
menganut pola-pola tingkah laku tertentu, menekan keinginan-keinginan kita, mengontrol pikiran-pikiran kita, memperhalus perasaan-persaan kita, membatasi kesukaan-kesukaan kita dan menjauhkan diri dari pelampiasan nafsu seks kita, maka setelah melalui siksaan jiwa dan raga yang cukup, kita akan menemukan sesuatu yang lain di balik kehidupan yang kerdil ini. Dan itulah yang telah dilakukan berjuta-juta orang yang alim selama berabad-abad, baik dengan hidup di tempat terasing, pergi ke padang pasir atau ke gunung atau gua, atau berkelana dari desa ke desa sambil membawa mangkuk minta-minta, atau dengan masuk kelompok tertentu hidup dalam sebuah biara, memaksa batinnya untuk menyesuaikan diri dengan sebuah pola hidup yang tetap. Tetapi batin yang tersiksa, batin yang retak, batin yang ingin lari dari semua kekalutan, yang telah mengingkari dunia lahir dan telah dibuat tumpul oleh disiplin dan konformitas - batin yang demikian itu, betapapun lamanya ia mencari, hanya akan menemukan sesuai dengan pemutar-balikan kenyataan yang ada di dalam dirinya. Maka untuk menemukan apakah sesungguhnya ada atau tidak ada sesuatu di balik kehidupan yang penuh kekuatiran, dosa, ketakutan dan persaingan ini, menurut hematku, orang harus menghadapinya dengan sikap yang lain samasekali. Pendekatan tradisional berlangsung dari luar
ke dalam; dan melalui waktu, praktek dan pengingkaran, setahap demi setahap menuju ke hati-sanubari, keindahan batin dan cinta kasih, - dalam kenyataan itu berarti: melakukan segala sesuatu yang membuat diri orang jadi sempit, picik dan munafik; menguliti diri selapis demi selapis; mengambil waktu; hari besok bolehlah, kehidupan yang akan datang jadilah - dan bila pada akhirnya orang sampai ke pusat yang terdalam, ia tidak menemukan apa-apa di sana karena batinnya telah dibuat tidak mampu apa-apa,bodoh dan tidak peka. Setelah mengamati proses ini, orang bertanya kepada dirinya sendiri, apakah ada suatu pendekatan yang lain samasekali - artinya, apakah tak
ada kemungkinan untuk meledak dari pusat? Dunia menerima dan menganut pendekatan tradisional. Penyebab utama kekacauan batin kita ialah upaya untuk mengejar kebenaran yang dijanjikan oleh orang lain; secara mekanis kita menganut orang lain yang menjanjikan suatu kehidupan spiritual yang menyenangkan. Suatu hal yang luar biasa ialah, bahwa walaupun kebanyakan diantara kita menentang tirani politik dan kediktatoran, tetapi secara batiniah kita sebenarnya menerima otoritas, tirani orang lain untuk mengubah batin dan cara hidup kita. Bila kita menolak secara menyeluruh - tidak hanya secara intelektual, tetapi secara nyata - segala sesuatu yang disebut otoritas spiritual,segala upacara, ritual dan dogma, maka itu berarti, bahwa kita berdiri seorang diri dan sudah berada dalam konflik dengan masyarakat; maka kita bukan manusia yang minta dihormati lagi. Manusia yang minta dihormati tidak mungkin mendekati kebenaran yang abadi, yang tak terukur. Sekarang Anda telah mulai dengan mengingkari sesuatu yang mutlak salah - pendekatan tradisional - tetapi bila Anda mengingkarinya sebagai sebuah reaksi, maka Anda akan menciptakan satu pola lain yang akan menjebak Anda; bila Anda berkata kepada diri Anda sendiri secara intelektual, bahwa pengingkaran ini sebuah ide yang sangat baik tetapi Anda tak melakukan apa-apa, Anda tak bisa maju setapakpun. Tetapi bila Anda mengingkarinya oleh karena anda mengerti ketololan dan ketidakdewasaan pendekatan semacam itu, bila Anda menolaknya dengan kecerdasan yang besar, karena Anda bebas dan tidak takut, maka meski Anda akan menimbulkan suatu gangguan besar di dalam diri Anda dan di
sekitar Anda, tetapi Anda akan keluar dari perangkap kehormatan. Maka Anda akan menemukan bahwa Anda tidak mencari lagi. Itulah hal pertama untuk dipelajari - tidak mencari. Bila Anda mencari, maka yang Anda lakukan sebenarnya hanyalah nonton etalase.

Pertanyaan tentang apakah ada suatu Tuhan atau kebenaran atau kenyataan, atau dengan nama apapun Ia hendak Anda sebut, tak pernah akan terjawab oleh buku, pendeta, ahli filsafat atau juru selamat. Tak seorangpun dan apapun dapat menjawab pertanyaan itu kecuali Anda sendiri dan itulah sebabnya mengapa Anda harus memahami diri Anda sendiri. Ketidak-dewasaan hanya terletak dalam ketidakpahaman total tentang si aku. Mengerti diri Anda sendiri adalah permulaan dari kearifan. Dan apakah diri Anda itu, Anda sebagai individu? Aku berpendapat, bahwa ada perbedaan antara seorang makhluk manusia dan seorang individu. Seorang individu adalah kesatuan lokal, yang hidup dalam satu daerah tertentu, termasuk satu kebudayaan tertentu, suatu masyarakat tertentu, suatu agama tertentu. Seorang manusia bukan sebuah kesatuan lokal. Ia ada dimana-mana. Bila si individu hanya bertindak di salah satu sudut tertentu dari medan kehidupan yang luas maka tindakannya itu samasekali tak berhubungan dengan keseluruhan medan kehidupan itu. Maka perlulah dicatat, bahwa kita di sini berbicara tentang keseluruhan itu bukan tentang bagiannya, karena didalam yang lebih besar itu terkandung yang lebih kecil, tetapi didalam yang lebih kecil tidak terkandung yang lebih besar. Si individu adalah kesatuan kecil yang bersyarat, penuh duka dan frustrasi, yang puas dengan dewa-dewanya yang kerdil dan tradisitradisinya yang kerdil, sedangkan manusia berkepentingan dengan keseluruhan kesejahteraan, keseluruhan duka nestapa dan keseluruhan kebingungan dunia. Kita makhluk-makhluk manusia tak pernah berubah sejak berjuta-juta tahun - sangat rakus, cemburu, agresif, iri hati, penuh kekuatiran dan keputusasaan, dengan kadang-kadang beberapa kilas rasa gembira dan kasih sayang. Kita merupakan satu campuran aneh dari kebencian, ketakutan dan kelembutan hati; kita adalah kedua-duanya; kekerasan dan perdamaian. Kita telah membuat kemajuan lahiriah dari gerobak hingga pesawat jet, tetapi di dalam batin si individu belum pernah terjadi perubahan apa-apa, sedangkan struktur masyarakat di seluruh dunia telah diciptakan oleh individu-individu. Struktur lahiriah masyarakat adalah hasil struktur psikologis hubungan antar manusia, karena si individu adalah hasil keseluruhan pengalaman, pengetahuan dan tingkah laku umat manusia. Kita masing-masing merupakan gudang simpanan segala sesuatu yang telah lampau. Si individu adalah manusia yang merupakan keseluruhan umat manusia. Seluruh sejarah manusia tertulis di dalam batin kita.

Amatilah apa yang sesungguhnya berlangsung di dalam diri Anda dan di luar diri Anda, dalam kebudayaan yang berintikan persaingan, yakni tempat hidup Anda, dengan keinginannya akan kekuasaan, kedudukan, prestise, nama dan sukses dan apapun lainnya - amatilah prestasi-prestasi yang demikian Anda banggakan, amatilah keseluruhan bidang yang Anda sebut kehidupan dan di mana terdapat pertentangan dalam setiap bentuk hubungan, yang menimbulkan kebencian, pertentangan, keganasan dan peperangan yang tanpa akhir. Bidang ini, kehidupan ini, hanya itulah yang kita kenal, dan karena kita tak dapat memahami perjuangan hidup yang dahsyat itu maka dengan sendirinya timbullah ketakutan pada kita, dan kita menemukan pelarian diri dari dunia yang demikian itu melalui berbagai macam jalan yang cerdik. Kitapun takut akan hal-hal yang tidak kita kenal takut akan kematian, takut akan segala sesuatu yang terletak di balik hari esok. Jadi kita takut akan hal-hal yang kita kenal dan takut akan hal-hal yang tidak kita kenal. Inilah kehidupan kita sehari-hari dan di dalamnya tak ada harapan, sehingga setiap bentuk filsafat, setiap bentuk konsep teologis, hanyalah semata-mata pelarian dari keadaan yang sesungguhnya . Semua bentuk perubahan luar yang ditimbulkan perang, revolusi, reformasi, hukum dan ideologi, telah gagal total dalam mengubah sifat dasar manusia, jadi juga sifat dasar masyarakat. Sebagai makhluk-makhluk manusia yang hidup di dunia yang jelek dan mengerikan ini, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah masyarakat ini, suatu masyarakat yang didasarkan pada persaingan, keganasan dan ketakutan, bisa berakhir? Bukannya berakhir sebagai sebuah konsep intelektual ataupun sebuah harapan, melainkan sebagai sebuah fakta aktual; berakhir, hingga jiwa kita menjadi segar, baru dan murni dan dapat membangun sebuah dunia yang samasekali lain.

Menurut pendapatku, itu hanya bisa, bila kita masingmasing melihat fakta pokok, bahwa kita sebagai individu, sebagai makhluk manusia, di bagian dunia manapun kita berdiam atau dalam lingkungan kebudayaan macam apapun, kita berada, kita bertanggung jawab sepenuhnya atas keseluruhan keadaan dunia. Kita masing-masing bertanggung jawab atas setiap peperangan yang timbul, yaitu karena agresivitas dalam kehidupan kita sendiri, karena nasionalisme kita karena nafsu mementingkan diri sendiri karena dewadewa kita, prasangka-prasangka kita, cita-cita kita, yang semuanya itu memecah belah kita. Dan hanya bila kita melihat dengan nyata – bukan secara intelektual, melainkan secara aktual, sama aktualnya seperti kita menyadari rasa lapar atau sakit - bahwa Anda dan aku bertanggung jawab atas segala kekacauan yang ada, atas semua nestapa di seluruh dunia ini, karena kita telah ikut menimbulkan hal itu di dalam kehidupan kita seharihari dan karena kita merupakan bagian dari masyarakat mengerikan yang penuh peperangan, pemecah-belahan, kejelekan, keganasan dan keserakahan itu - maka barulah kita bisa bertindak. Tetapi apakah yang dapat dilakukan seorang manusia - apakah yang dapat dilakukan oleh Anda dan aku - untuk menciptakan sebuah masyarakat yang samasekali lain ? Yang kini kita ajukan kepada diri kita ialah sebuah pertanyaan yang sangat serius. Apakah ada sesuatu yang dapat kita lakukan? Apa yang telah kita lakukan? Adakah seseorang yang dapat memberitahu kita? Memang benar orang bisa memberitahu kita. Yang biasanya disebut pemimpin spiritual, yang dianggap lebih paham daripada kita tentang segalanya, telah memberitahu kita dengan cara memilin dan membentuk kita ke dalam suatu pola baru, dan hal itu tidaklah membuat kita banyak berubah; orang-orang yang cerdik dan yang terpelajar telah memberitahu kita, tetapi hal itu tak membawa kemajuan apapun pada kita. Kita telah diberitahu bahwa semua jalan menuju kebenaran; Anda mempunyai lorong Anda sendiri sebagai seorang Hindu dan orang lainpun mempunyai lorongnya sendiri sebagai orang Kristen dan orang lainnya lagi sebagai seorang Muslimin, dan semua orang itu akan bertemu pada pintu yang sama. Bila Anda mengamati hal itu, maka akan jelas kelihatan kemustahilannya. Kebenaran itu tak berlorong, dan itulah keindahan kebenaran, ia sesuatu yang hidup. Sebuah benda mati mempunyai lorong yang menuju kepadanya karena ia sesuatu yang statis, akan tetapi bila Anda melihat bahwa kebenaran itu sesuatu yang hidup, bergerak, sesuatu yang tak bertempat tinggal tetap, sesuatu yang tidak terdapat di dalam kuil, mesjid ataupun gereja, dan tiada agama, tiada guru, tiada ahli filsafat, tak ada siapapun yang dapat menuntun Anda kepadanya maka Anda akan melihat pula, bahwa hal yang hidup ini adalah Anda yang sebenarnya - kemarahan Anda, keganasan Anda, kekerasan Anda,
keputusasaan Anda, kesengsaraan, duka nestapa yang Anda alami. Dalam pemahaman tentang semuanya inilah terdapat kebenaran, dan Anda hanya akan memahaminya bila Anda tahu bagaimana cara mengamati segala sesuatu ini di dalam hidup Anda. Anda tak dapat melihatnya melalui suatu
ideologi, melalu suatu tirai kata-kata, melalui harapan-harapan dan ketakutan.

Demikianlah Anda melihat bahwa Anda tak dapat bergantung pada siapapun juga. Tak ada penunjuk jalan, tak ada guru, tak ada otoritas. Yang ada hanyalah Anda - hubungan Anda dengan orang-orang lain dan dengan dunia - tak ada apa pun selain itu. Bila Anda menyadari hal ini, maka pada Anda akan timbul satu diantara dua hal: atau Anda tertimpa rasa putus asa yang besar, yang menimbulkan sifat sinis dan kepahit-getiran, atau dalam hal Anda berhadapan dengan fakta yang mengatakan bahwa hanya Anda dan bukan siapapun juga bertanggung jawab atas dunia dan diri Anda sendiri, bertanggung jawab atas segala sesuatu yang Anda rasakan, atas segala tindakan Anda - segala rasa iba pada diri Anda sendiri lenyap. Biasanya kita berusaha melimpahkan kesalahan pada orang-orang lain,yang merupakan salah satu bentuk rasa iba diri. Karena itu, tanpa pengaruh dari luar, tanpa bujukan bentuk apapun, tanpa rasa takut akan hukuman - dapatkah kita di dalam hati sanubari kita membuat revolusi total--- suatu mutasi psikologis sedemikian rupa, hingga kita tidak bersifat ganas lagi, bersifat penuh kekerasan, suka bersaing, penuh kekuatiran, penuh ketakutan, serakah, cemburu dan wujud-wujud sifat kita lainnya yang telah membangun satu masyarakat busuk yang menjadi tempat hidup kita sehari-hari ini? Suatu hal yang penting untuk dimengerti sejak mula sekali ialah, bahwa aku tidaklah merumuskan sebuah filsafat ataupun sebuah struktur ide teologis atau konsep teologis. Bagiku semua ideologi itu tolol sekali. Yang penting bukannya suatu filsafat hidup, melainkan pengamatan tentang apa yang sesungguhnya sedang berlangsung di dalam kehidupan kita sehari-hari, baik yang di luar maupun yang di dalam diri kita. Bila Anda mengamati dengan sangat cermat apa yang sedang terjadi dan menelitinya, Anda akan melihat bahwa peristiwa itu didasari oleh suatu konsepsi intelektual, dan intelek itu bukanlah keseluruhan medan kehidupan; ia hanya salah satu bagian saja, dan satu bagian, yang betapa cerdikpun susunannya, betapapun kuno dan tradisionalnya, ia tetap satu bagian kecil saja dari kehidupan, sedangkan yang kita harus hadapi ialah keseluruhan hidup. Maka bila kita mengarahkan pandangan kita kepada apa yang sedang berlangsung di dunia ini, mulailah kita mengerti bahwa tak ada proses luar dan dalam; yang ada hanyalah satu proses tunggal, satu gerak total yang utuh, satu gerak batin yang mengekspresikan dirinya sebagai gerak lahir, sedangkan gerak lahir ini selanjutnya bereaksi lagi terhadap gerak batin. Pada hemat saya berkemampuan melihat semuanya inilah yang kita perlukan, sebab bila kita tahu bagaimana caranya melihat, maka seluruh peristiwa menjadi sangat terang, dan untuk dapat melihat, kita tidak memerlukan filsafat ataupun guru. Tak ada seorangpun yang perlu memberi tahu Anda bagaimana seharusnya Anda melihat sesuatu. Anda melihat saja, titik. Kini dapatkah Anda, sambil melihat keseluruhan lukisan ini - melihatnya bukan melalui kata-kata tetapi secara nyata - dapatkah Anda
dengan gampang, dengan spontan, mengubah diri Anda sendiri? Itulah masalah sebenarnya. Apakah mungkin untuk menimbulkan suatu revolusi menyeluruh di dalam batin ? Aku ingin tahu reaksi apa yang akan timbul pada Anda terhadap pertanyaan semacam itu. Anda bisa berkata: "Aku tak mau berubah", dan banyaklah orang yang bersikap demikian, terutama mereka yang sudah cukup terjamin kehidupan sosial dan ekonominya, atau mereka yang berpegang pada kepercayaan-kepercayaan dogmatis dan telah puas menerima dirinya sendiri dan apa pun di sekitarnya sebagaimana adanya atau dalam bentuk yang hanya sedikit berubah. Orang-orang semacam ini bukanlah orang-orang yang sedang kita pikirkan di sini. Atau Anda dapat pula berkata secara lebih halus: "Itu sesuatu yang terlalu sukar, biarlah itu persoalan bagi orang lain, bukan bagiku", yang berarti bahwa Anda sudah menghalangi diri Anda sendiri, Anda sudah berhenti menyelidiki dan akan tak ada gunanya lagi untuk meneruskan persoalan ini lebih jauh. Atau mungkin Anda berkata: "Aku melihat perlunya suatu perubahan fundamental dalam diriku, tetapi bagaimana aku harus melakukannya? Tunjukkanlah jalan kepadaku, tolonglah, bawalah aku kepadanya". Bila Anda berkata demikian maka yang Anda minati sebenarnya bukanlah perubahan itu sendiri; Anda tidak benar-benar menaruh perhatian terhadap
revolusi yang fundamental: Anda sekedar mencari satu metode, satu sistem, supaya Anda bisa menimbulkan perubahan. Bila aku cukup tolol untuk memberikan Anda sebuah sistim dan bila Anda cukup tolol untuk menganutnya, maka yang akan Anda lakukan hanyalah perbuatan mencontoh, meniru, menyesuaikan diri, menerima, dan bila Anda berbuat demikian, Anda telah menanamkan otoritas orang lain di dalam diri Anda, sehingga terjadi pertentangan antara Anda dan otoritas itu. Anda merasa, bahwa Anda harus melakukan hal ini dan itu karena Anda telah diberitahu untuk berbuat demikian, tetapi Anda tak mampu melakukannya. Anda mempunyai kesukaan, kecenderungan dan tuntutan khusus Anda yang bertentangan dengan sistim yang Anda anggap harus
Anda turuti, dan karenanya timbul pertentangan. Maka Anda akan mengalami kehidupan ganda antara ideologi sistim itu dan aktualitas kehidupan Anda sehari-hari. Dalam usaha untuk menyesuaikan hidup Anda dengan ideologi itu, Anda mengadakan tekanan terhadap diri Anda sendiri - sedangkan yang benar-benar aktual bukanlah ideologi itu melainkan keadaan Anda yang sebenarnya. Bila Anda mencoba menyelidiki diri Anda sendiri sesuai dengan pendapat orang lain, Anda akan selalu hidup sebagai seorang manusia peniru. Seseorang yang berkata: "Aku ingin berubah, beritahukan aku bagaimana caranya", akan tampak sangat bersungguh hati, sangat serius, tetapi ia tidaklah betul-betul demikian. Yang diinginkannya ialah satu otoritas yang ia harapkan akan membuat batinnya tertib. Tetapi dapatkah otoritas membuat batin menjadi tertib ? Ketertiban yang dipaksakan dari luar selalu menimbulkan kekacauan. Anda mungkin melihat kebenaran akan hal ini secara intelektual, tetapi dapatkah Anda melaksanakannya secara aktual sedemikian rupa hingga batin Anda tidak lagi memproyeksikan otoritas bentuk apapun, apakah itu otoritas yang datang dari sebuah buku, seorang guru, seorang isteri atau suami, ibu atau ayah, seorang teman ataupun otoritas masyarakat? Soalnya ialah, bahwa kita selalu berbuat menurut pola sebuah formula, lalu formula ini menjadi
ideologi dan otoritas; tetapi di saat Anda benar-benar melihat bahwa pertanyaan "Bagaimanakah caranya aku bisa berubah?" menciptakan lagi suatu otoritas baru, Anda telah menghapus otoritas untuk selama-lamanya. Marilah kita nyatakan lagi hal ini dengan jelas: Aku melihat bahwa aku harus berubah secara menyeluruh mulai dari akar-akar kehidupanku; aku tak dapat lagi menggantungkan diri pada tradisi apapun karena tradisi itu telah membawa sifat malas yang luar biasa ini, sifat menerima dan sifat menurut; aku tak mungkin menoleh kepada orang lain untuk membantuku untuk berubah, aku tak mungkin minta bantuan kepada guru siapapun, Tuhan manapun, kepercayaan apapun, sistim apapun, tekanan atau pengaruh luar apapun. Kemudian apakah yang akan terjadi?
Pertama-tama, dapatkah Anda menolak semua macam otoritas? Bila Anda dapat, itu berarti bahwa Anda tidak takut lagi. Maka apakah yang terjadi? Bila Anda menolak sesuatu yang tak benar yang telah Anda bawa keturunan demi keturunan, bila Anda membuang sesuatu beban macam apapun, apakah yang terjadi? Anda lalu mempunyai energi lebih besar, bukankah begitu? Anda akan mempunyai energi, kapasitas yang lebih besar, semangat yang lebih besar, intensitas dan vitalitas yang lebih besar. Bila Anda tidak merasakan ini, maka Anda belumlah membuang beban itu, Anda belum meniadakan tindihan otoritas di punggung anda. tetapi bila Anda telah membuangnya dan mempunyai energi yang sama sekali tak mengandung rasa takut ini - tak ada rasa takut untuk berbuat salah, tak ada rasa takut untuk berbuat benar atau salah – maka bukankah energi demikian itulah sebuah mutasi? Kita memerlukan sejumlah besar energi dan kita memboroskannya melalui rasa takut, tetapi bila energi ini ada, energi yang muncul pada waktu setiap bentuk rasa takut dibuang, maka energi itu sendiri menghasilkan revolusi batin yang kita maksudkan. Anda tak perlu berbuat apapun untuk itu. Jadi Anda telah ditinggalkan dengan diri Anda sendiri, dan itulah keadaan sebenarnya seseorang yang sungguh-sungguh serius tentang segala hal ini, dan karena Anda tidak mengharapkan pertolongan lagi dari orang lain ataupun sesuatu yang lain, Anda sudah menjadi bebas untuk menemukan sesuatu yang baru. Dan dimana ada kebebasan tak akan ada perbuatan salah. Kebebasan adalah sesuatu yang berlainan sama sekali dengan pemberontakan. Tak ada berbuat benar atau salah bila ada kebebasan. Anda adalah bebas dan dari pusat itu Anda bertindak. Oleh karena itu rasa takut tak ada dan batin yang tak punya rasa takut mempunyai kemampuan untuk benar-benar cinta. Dan bila ada cinta, ia boleh berbuat sekehendaknya. Sebab itu, yang akan kita lakukan kini ialah belajar tentang diri kita sendiri tidak menurut saya atau menurut seorang analis atau ahli filsafat karena bila kita belajar tentang diri kita sendiri menurut orang lain, kita belajar tentang orang itu, tidak tentang diri kita sendiri - kita akan belajar tentang apakah kita sebenarnya. Setelah menyadari bahwa untuk menimbulkan revolusi yang menyeluruh dalam batin kita sendiri, kita tak dapat menggantungkan diri pada otoritas luar mana pun, maka masih ada lagi satu kesukaran yang jauh lebih besar; yaitu menolak otoritas dari pengalaman-pengalaman kecil dan pendapat-pendapat , pengetahuan, ide-ide dan ideal-ideal yang telah kita kumpulkan sendiri. Anda telah mendapatkan suatu pengalaman di hari kemarin, yang memberi Anda satu pelajaran tertentu dan apa yang telah diajarkan kepada Anda itu menjadi otoritas baru - dan otoritas hari kemarin itu sama-sama bersifat merusak sebagai halnya otoritas pengalaman seribu tahun. Untuk mengerti diri kita sendiri tidak diperlukan otoritas, apa ia otoritas hari kemarin ataukah seribu tahun, karena kita adalah benda-benda hidup, selalu dalam keadaan bergerak, mengalir, tak pernah berhenti. Bila kita memandang diri kita sendiri dengan otoritas hari kemarin yang telah mati, kita tidak akan mengerti gerak hidup itu serta keindahan dan kualitasnya. Terbebas dari semua macam otoritas, baik otoritas Anda sendiri maupun otoritas orang lain, berarti mati terhadap segala sesuatu yang terdapat di hari kemarin begitu rupa, hingga batin Anda selalu segar, selalu muda, murni, penuh semangat dan gairah. Hanya dalam keadaan itulah orang bisa belajar dan mengamati. Dan untuk ini diperlukan suatu kesadaran yang sangat besar, satu kesadaran aktual tentang apa yang sedang berlangsung di dalam diri Anda sendiri, tanpa mengoreksinya atau mengatakan apa yang seharusnya atau apa yang seharusnya tidak terjadi, karena pada saat Anda mengoreksi Anda telah membentuk otoritas lainnya, yaitu suatu sensor.

Demikianlah maka kita akan bersama-sama menyelidiki diri kita sendiri--- bukannya seseorang memberi penjelasan sambil Anda membaca, menyetujui atau tidak menyetujuinya selagi Anda mengikuti kata-kata yang tertera pada halaman-halaman buku ini, melainkan kita bersamasama membuat satu perjalanan, satu perjalanan untuk menyelami sudutsudut batin kita yang paling tersembunyi. Dan untuk membuat perjalanan semacam itu kita harus dapat berjalan enteng; kita tak boleh dibebani pendirian-pendirian, prasangka-prasangka dan kesimpulan-kesimpulan dan segala perabot tua yang telah kita kumpulkan selama duaribu tahun terakhir dan lebih. Lupakanlah segala sesuatu yang Anda ketahui tentang diri Anda sendiri; lupakan segala-galanya yang pernah Anda pikirkan tentang diri Anda sendiri; kita kini akan mulai seakan-akan kita tak tahu apa-apa. Tadi malam hujan telah turun dengan lebatnya, dan kini langit mulai cerah; hari ini baru dan segar. Marilah kita menyongsong hari yang segar itu seakan-akan ia satu-satunya hari yang ada. Marilah kita memulai perjalanan kita bersama dengan meninggalkan semua kenangan hari kemarin - dan mulai memahami diri kita sendiri untuk pertama kalinya.

Sabtu, 02 Juli 2011

Kajian Stilistika pada Puisi Angkatan 1942-1945

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Penelitian karya sastra pada waktu sekarang banyak ditunjukan pada penerangan struktur pencitraanya: tema, alur, penokohan, latar, dan pusat pengisahan. Akan tetapi, pennelitian gaya bahasa yang merupakan salah satu sarana kasusastran yang sangat penting, masih sangat sedikit. Gaya bahasa merupakan sarana sastra yang turut menyumbangkan nilai kepuitisan atau estetik karya sastra, bahkan seringkali nilai seni suatu karya sastra ditentukan oleh gaya bahasanya (Pradopo, 2000: 263).
Sebagai suatu sistem, sastra merupakan suatu kebulatan dalam arti dapat dilihat dari berbagai sisi. Diantaranya adalah sisi bahan. Ellis (dalam Jabrohim, 2001: 11) mengemukakan tentang konsep sastra bahwa (teks) sastra tidak ditentukan oleh bentuk strukturnya tetapi oleh bahasa yang digunakan dalam macam cara tertentu oleh masyarakat. Ini menunjukan pengertian bahwa bahasa yang dipakai mengadung fungsi yang lebih umum dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Hill (dalam Pradopo, 2000: 120) menyatakan karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra (novel) haruslah dianalisis, sebuah analisis yang tidak tepat akan menghasilkan kumpulan fragmen yang tidak saling berhubungan. Unsur-unsur sebuah sebuah koleksi bukanlah bagian-bagian yang sesungguhnya. Karya sastra merupakan wujud kreatifitas mausia yang tergolong konvensi-konvensi yang berlaku bagi wujud ciptaannya dapat menhjadi kaidah. Keunikan karakteristik sastra pada suatu masyarakat, bahkan suatu ciptaan sastra, membuat sastra memiliki sifat-sifat yang khusus (Jabrohim, 2001: 14)
Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai yang merupakan bantuk tanda, dan petanda (signified) atau yang diatandai, yang merupakan arti tanda (Pradopo, 2000: 121). Berdasarkan hubungan antara petanda dan penanda, ada tiga jenis yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antara penenda dan petandanya bersifat bentuk alamiah. Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan penanda yang bersifat kausal atau hubungan timbal balik. Simbol itu tanda yang tidak menunjukan hubugan alamiah antara penanda dan petandanya. Kata-kata dan unsur-unsur kebahasaan pada umumnya, pada prinsipnya semua merupakan simbol (Sujiman & Aart van Zoest, 1996: 9).
Ratna (2009: 66) menyatakan dalam karya sastra bahasa merupakan representasi, perwakilan ide-ide penulis dan struktur sosial yang melatarbelakanginya. Sebagai perwakilan bahasa pada dasarnya sebagai modal pertama menyajikan informasi sebagaimana dimaksud oleh pengarang dalam mengembangkan hasil karya sastranya. Bahasa merupakan alat yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan kembali pengammatan terhadap fenomena kehidupan dalam bentuk cerita. Seorang pengarang harus dapat menggunakan bahasa yang menarik dalam mengeksperesikan gagasannya, karena faktor bahasa
merupakan merupakan daya pikat dalam karya sastra. Dalam hubungan dengan masyarakat sastra Indonesia istilah sastra dipahami sebagai suatu sisitem yang terbaca pada ciptaan-ciptaan yang oleh masyarakat indonesia dikategorikan sebagai produk sastra. Peryataan ini tentu dilatari oleh suatu konsep tentang sastra yang hidup dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat sastranya (Chamamah dalam Jabrohim, 2001: 12)
Objek utama analisis stilistika adalah teks atau wacana. Objek analisis bukan bahasa melainkan bahasa yang digunakan, bahasa dalam proses penafsiran. Pada saat sebuah kalimat diucapkan, sebagai parole, pada saat itulah terjadi komunikasi antara objek dengan pembaca sehingga terjadi proses penafsiran (Ratna, 2009: 16).
Dalam menciptakan suatu karya sastra seorang sastrawan terdorong emosinya, pikiran, dan maksudnya, ingin menuangkan pengalaman batinya ke dalam bentuk sastra. Karena sering kauatnya dorongan untuk menuliskan apa yang dirasa, dipikirkan dialami batinya itu, maka ia tidak memikirkan berhasil tidaknya cara pengugkapannya itu, juga berharga atau tidaknya pikiran yang dikemukakan dalam karyanya itu (Pradopo, 2007: 16).
Ratna (2009: 55-56) menyatakan sastra terdiri dari berbagai sistem, yang dibedakan menjadi sitem makro dan mikro yang lebih dikenal dengan istilah struktur ekstrinsik dan intrinsik. Sistem makro hampir sama dengan sistem sosial melibatkan masyarakat, pengarang sebagai pencipta, karya sastra, pembaca dan penerbit. Sistem mikro melibatkan unsur-unsur di dalam karya sastra itu sendiri, seperti: tema, insiden, plot, tokoh, sudut pandang dan sebagainya. Dalam studi sastra dituntut metode yang sesuai dengan hakikat dan kenyataan karya sastra sendiri seperti dikemukakan Wellek (dalam Pradopo, 1995: 3) bahwa kasusastran jangan dikonsepsi hanya sebagai cermin pasif atau tiruan perkembangan politik, masyarakat, atau bahkan intelek manusia, sastra hendaknya ditetakan dengan kriteria sastra yang murni. Medium utama karya sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Tanpa bahasa tidak ada karya sastra. Meskipun demikian, sistem
sastra tidak seketat sitem bahasa. Sistem bahasa terikat dengan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis), ejaan (penggunaan huruf, penulisan huruf, penulisan kata, penulisan unsur serapan, penggunaan tanda baca). Sebaliknya, dalam karya sastra, sebagai tata sastra sistemnya terbuka penafsiran yang berbeda justru merupakan ciri-ciri kualitas estetis. Oleh karena itu, penulis dimungkinkan untuk memanipulasi sistem bahasa, menyembunyikan makna yang sesungguhnya, bahkan menciptakan segala sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada (Ratna, 2009: 65).
Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan system semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra bukanlah bahasa yang bebas (netral) seperti bunyi pada seni musik atau warna pada lukisan. Warna cat sebelum dipergunakan dalam lukisan masih bersifat netral, sedangkan kata-kata (bahasa) sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa) atau ditentukan oleh konveksi masyarakat (Pradopo, 2000: 121) Dalam karya sastra, gaya bahasa berhubungan dengan makna dan ideology pengarang. Penggunaan suatu gaya bahasa dalam karya sastra tidak terlepas dari makna karena ia berhubungan dengan proses pemaknaan (signification process). Kita dapat memberikan interpretasi makna suatu gaya bahasa jika ia dilihat sebagai tanda yang lain karena ia memberikan makna tertentu padanya untuk tujuan estetik (Al-Ma’ruf, 2010: 23). Gaya dimaksudkan untuk menyebut bagaimana pengarang memanfaatkan potensi bahasa guna memaparkan atau mengekspresikan gagasan, peristiwa, atau suasana tertentu untuk mencapai efek-efek tertentu atau mendatangkan efek tertentu bagi pembacanya.
Istilah stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris. Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa (. Sedangkan secara umum stil (style) akan dibicarakan secara luas pada bagian berikut adalah cara – cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. (Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U, 2009:3)
Dalam Tifa Penyair dan Daerahnya, Jassin merumuskan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya (1978:127). Dalam Mitos dan Komunikasi, “Strategi untuk Suatu Penyelidikan Stilistika,” Yunus merumuskan stilistik (a) dibatasi kepada penggunaan bahasa dalam karya sastra.
Dalam beberapa kamus umum dan istilah pengertian stilistika itu sama atau hampir bersamaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:859), stilistika, ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dalam Kamus Dewan (1996:1305), Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Stilistik:
1) Kajian tentang penggunaan gaya bahasa secara berkesan dalam penulisan.
2) Berkaitan dengan stail atau gaya, terutama gaya bahasa penulisan.
Dalam Kamus Istilah Sastra, Sudjimar (1990:79) menuliskan stilistika (Stylistics), ilmu yang menyelidiki penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dalam Kamus Istilah Sastra, Zaidan dkk (1994:194) menuliskan stilistika ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Dalam Leksikon Sastra, Yusuf (1995:277) menuliskan stilistika (Stylistics), ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra, perpaduan ilmu linguistik dan sastra.
Dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana (1982:159) membeberkan pengertian stilistika.
1) Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan.
2) Penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa.
Disisi lain yang muncul dalam kaitannya dengan gaya bahasa, diantaranya yaitu : seni bahasa, estetika bahasa, kualitas bahasa, ragam bagasa, gejala bahasa, dan rasa bahasa. Dua istilah pertama memiliki pengertian yang hampir sama, bahasa dalam kaitannya dengan ciri – ciri keindahan yang identik dengan gaya bahasa itu sendiri. Kualitas bahasa lebih beraitan dengan nilai penggunaan bahasa secara umum, termasuk dalam ilmu pengetahuan.
Ragam bahasa adalah jenis, genre, diketagorikan menurut medium (lisan dan tulisan), topik yang dibicarakan (ilmiah dan ilmiah popular), pembicaraan (halus dan kasar), semangat (regional dan nasional). Gaya merupakn salah satu cabang ilmu tertua dalam bidang kritik sastra. Menurut Folwer (1987:236) makna-makna yang diberikan sangat kotroversial, relevansinya menimbulkan banyak perdebatan. Gaya terkandung dalam semua teks, bukan bahasa tertentu, bukan semata-mata teks sastra. Gaya adalah ciri-ciri, standar bahasa, gaya adalah cara ekspresi. Pada dasarnya gaya ada dan digunakan dalam kehidupan praktis sehari-hari. Hampir setiap tingkah laku dan perbuatan, sejak bangun pagi hingga tidur dimalam hari, disadari atau tidak, dilakukan dengan menggunakan cara tertentu. Dengan singkat stilistika berkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya secara umum, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Stilistika dalam karya sastra merupakan bagian stilistika budaya itu sendiri. Meskipun demikian, dengan adanya intensitas penggunaan bahasa, maka dalam karya sastralah pemahaman stilistika paling banyak dilakukan.
Semua gaya (Murry, 1956:18, 71-72), dalam hubungan ini gaya karya sastra, khususnya karya sastra, khususnya karya sastra yang berhasil adalah artifisial, diciptakan dengan disengaja. Gaya dengan demikian adalah kualitas bahasa, merupakan ekspresi langsung pikiran dan perasaan. Tanpa adanya proses hubungan yang harmonis antara kedua gejala tersebut, maka gaya bahasa yang harmonis antara kedua gejala tersebut maka gaya bahasa tidak ada. Gaya melahirkan kegairahan sebab gaya memberikan citra baru, gaya membangkitkan berbagai dimensi yang stagnasi.
Kritik paling awal (Shipley, 1962:397) berasal dari tradisi Yunani, yaitu Plato dan Aristoteles. Keduanya menganggap gaya sebagai kualitas ekspresi. Perbedaannya, tradisi Platonik menganggap tidak semua ekspresi memiliki gaya, sedangkan tradisi Aristotelian menganggap gaya bersifat superior dan inferior, kuat dan lemah, baik dan tidak baik.
Shipley (1962:397-398) memberikan tujuh jenis gaya bahasa, sebagai berikut :
Gaya bahasa berdasarkan pengarang, seperti; gaya Shakespeare-an, Dantean, Homeric, dan gaya Militonic.
Gaya bahasa berdasarkan waktu, hari, decade, abad, peristiwa sejarah atau sastra, seperti; gaya pra-shakespeare, gaya abad keemasan Latin.
Gaya bahasa berdasarkan medium bahasa, seperti; gaya bahasa jerman, gaya bahasa Perancis.
Gaya bahasa berdasarkan subjek, seperti; gaya bahasa resmi, ilmu pengetahuan, filsafat, komis, tragis dan gaya didaktis.
Gaya bahasa berdasarkan subjek, seperti; gaya bahasa urban, professional, gaya New England.
Gaya bahasa berdasarkan Audienc, seperti; gaya bahasa umum, istanah, keluarga, populer, dan gaya mahasiswa.
Gaya bahasa berdasarkan tujuan atau suasana hati, seperti; gaya bahasa sentimental, sarkatis, diplomatis dan gaya bahasa informasional.
Hubungan antara bahasa dan sastra merupakan masalah yang sangat penting. Medium utama sastra adalah bahasa sehingga keduanya berkaitan sangat erat, tidak bisa dipisahkan. Dikaitkan dengan bahasa sastra itu sendiri, ada dua pendapat yang berbeda dengan bahasa sehari-hari, medium sastra adalah bahasa yang khas. Sebaliknya pendapat kedua yang mengatakan bahwa bahasa sastrat pada dasarnya sama dengan bahasa sehari-hari. Keseluruhan karya sastra salahsatunya yaitu puisi. Dalam puisi terkandung sebuah makna. Untuk mendapatkan makna secara penuh dalam menganalisis puisi, tidak boleh dilepaskan dari konteks sejarah dan sosial budaya.
Makna keseluruhan sebuah karya biasanya secara penuh dapat digali dan diungkap secara tuntas bila dikaitkan dengan unsur kesejahteraannya. Karya sastra yang ditulis biasanya mendasarkan diri pada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpangnya.
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Dipihak lain, sebagai bagian penolakan analisis histories, sosiologis dan psikologis, ciri-ciri ini muncul kembali awal abad ke-20 (1915) melalui kelompok formalitas kemudian dilanjutkan oleh kaum strukturalis.
Richards (Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima. Sedangkan Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.
Dalam mengahasilkan karya sastra salah satunya puisi, dimana unsure yang membangun ataupun latar belakangnya tidak dapat dipisahkan dengan sejarah atau periodesasi dalam perkembangan sastra itu sendiri. Sejarah yang pada akhirnya membawa sebuah perbandingan antara puisi satu dan puisi masa sebelumnnya. Dari sana kita dapat melihat, gaya bahasa yang dimiliki pengarang ditiap periode yang berbeda yang dipengaruhi oleh masa atau perkembangan zaman, salah satunya pada periodesasi sastra angkatan penjajahan jepang yang sarat akan perjuangan Nasionalisme, yang mengalirkan puisi menjadi sebuah karya yang penuh perjuangan dan Idealisme.
Bisa kita katakan bahwa buah dari kesusatraan pada jaman ini adalaha lukisan jiwa dan lukisan sekitae dipandang dari suatu kesadaran. Latar belakang perubahan politik yang sangat mendadak pada masa penjajahan jepang (1942-1945) menjadi awal kelahiran sastra angkatan ’45. berawal sari reaksi sastra yang menghamba pada pemerintah Jepang di Indonesia dan beberapa sastrawan Indonesia yang bergabung dalam lembaga “Keimin Bunka Shidosho”, pusat kebudayaan yang dijuluki “kacung Jepang”.
Masa tiga setengah tahun terlalu singkat untuk membagi-bagikan aliran-aliran pikiran menurut masa, bulan dan hari yang tertentu, berhubungan dengan kejadian-kejadian yang menimbulkan harpan, kecemasan, atau kekecewaan dsb. Disamping sajak sorak kemenangan, ada sajak penyair yang meratapi kekalahan. Keinsanan sekian banyak penyair dan pengarang tidak semuanya serupa dengan perjalanannya mencapai kepastian.
Kedatangan Jepang merupakan revolusi jiwa terutama, yang mengguncangkan pandangan hidup dan sikap hidup orang berfikir dan merasa, melihat, dan mendengar. Dan didalam keguncangan itu kehidupan batin tidaklah bisa diharapkan perjalanan yang dalam segala-galanya serba teratur, melainkan meloncat-loncat dan berlain-lain pada tiap-tiap orang yang berhubungan dengan keadaan jiwanya untuk dapat menerima.
Semnjak kahadiran Jepang dalam hati sebagian orang mulai timbul hasrat, melihat kapal-kapal yang menderu-deru diudara dan memiliki angkatan udara yang lengkap. Kehidupan yang semakin dalam keadaan ketertekanan, dikecewakan, memiliki keinginan yang sangat besar, tetapi tidak dapat mengeluarkan keinginan dan meluapkan semua hasrat yang menderu-deru didalam jiwa.
Kehadiran angkatan ’45 meletakkan pondasi kokoh bagi kesusastraan di Indonesia. Karena angkatan sbelumnya dinilai tidak memiliki jati diri ke-Indonesiaan. Jika angkatan Balai Pustaka dinilai tunduk terhadap kolonioal Belanda “Volkslectur” (lembaga kesusastraan Kolonial Belanda). Dan angkatan Pujangga baru dinilai mengkhianati identitas bangsa karena terlalu berkiblat ke barat, maka angkatan 45 adalah salah satu reaksi penolakan terhadap angkatan-angkatan tersebut.
Dalam kaitannya dengan stilistika pada puisi dimasa penjajahan jepang (1942-1945) penulis melihat ketertarikan dengan sejarah kesastraan dan perkembangan gaya bahasa yang dimiliki oleh puisi terutama pada tahun (1942-1945). Dari penulisan sebelum-sebelumnya penulis menemukan sebuah tulisan yang hanya menganalisis unsure-unsur puisi yang strukturalis, dan analisis dari segi. Sepanjang penelitian analisis stilistika dalam puisi pada tahun 1942-1945 masih belum ditemukan.

1.2. RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Jangkauan Masalah
Analisis ini menekankan pada penggunaan Stilistika dalam puisi pada tahun 1942-1945. yakni pengguanaan gaya bahasa berdasarkan tujuannya. Seperti; gaya bahasa sentimental, sarkatis, Idealisme, dan Nasionalisme dll.




1.2.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, rumusan masalah yang dapat dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran Stilistika ?
2. Bagaimana gambaran Sejarah penciptaan Puisi pada tahun 1942-1945 ?
3. Bagaimana kajian Stilistika dalam puisi pada tahun 1942-1945 ?

1.3. TUJUAN ANLISIS
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini secara umum yakni memperoleh gambaran menyeluruh mengenai Stilistika dalam puisi pada tahun 1942-1945.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan penelitian ini secara khusus yakni memperoleh :
1. Gambaran pengertian stilistika.
2. Gambaran Penciptaan Puisi pada tahun 1942-1945.
3. Gambaran keterkaitan Stilistika dalam puisi pada tahun 1942-1945.

BAB II
KAJIAN TEORISTIS

2.1. STILISTIKA
2.1.1 Hakikat Stilistika
Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (syle) secara umum sebagaimana akan dibicarakan secara lebih luas pada bagian berikut adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, shingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Dalam hubungannya dengan kedua istilah diatas perlu disebutkan istilah lain yang seolah-olah memperoleh perhatian tetapi sesungguhnya dalam proses analisis memegng peranan penting yaitu majas. Majas diterjemahkan dari kata trope (Yunani), figure of speech (Inggris), berarti persamaan atau kiasan. Jenis majas sangat banyak, seperti : Hiperbola, Paradoks, sarkasme, inversi, dan sebagainya. Tetapi, pada umumnya dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu : Majas Penegasan, majas perbandingan, pertentangan, dan majas sindiran. Majas inilah yang paling banyak dikenal, baik dalam masyarakat pada umumnya maupun dalam bidang pendidikan.
Dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana (1982:159) membeberkan pengertian stilistika.
1) Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan.
2) Penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa.
Dalam Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman ( 1993:3) berpengertianbahwa stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi lingusitik. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana non sastra, meneliti derivasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literatur, singkatnya stilistika meneliti sastra fungsi fuitik suatu bahasa. Dalam Kosa Semiotika, Budiman menuliskan bahwa dilihat dari sudut pandangan tertentu, stilistik merupakan subsidiplin linguistik yang mengarah perhatian terhadap teks-teks sastra. Stilistik menerapkan metode-metode struktural terhadap teks-teks sastra. Di samping itu dilihat dari perspektif lain, stilistik dapat dipahami sebagai suatu disiplin otonom yang mencoba menerapkan secara ekfektik metode-metode baik linguistik maupun ilmu sastra (1999:111).
Dalam Perbincangan Gaya Bahasa Sastra, sastrawan negara Keris Mas, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1988:8) berpengertian bahwa stilistika tidak lain dari pada kajian stail, yang mengkaji segala kemungkinan gaya kesusastraan untuk menilai dan mendapat kefahaman benar mengenai sebuah teks kesusastraan.
Dalam Stylistics, Harmondworth Penguin Book Tunner (1977:7) merumuskan bahwa stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa terutamabahasa dalam kesusastraan. Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat dirumuskan bahwa:
1. Stilistika adalah ilmu interdisipliner linguistik dengan sastra.
2. Stilistika adalah ilmu tentang pemakaian bahasa dalam karya sastra.
3. Stilistika adalah ilmu gaya bahasa yang digunakan dalam wacana
sastra.
4. Stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik.
Ragam bahasa adalah jenis, genre, dikategorikan menurut medium (lisan dan tulisan), topik yang dibicaraan (ilmiah dan ilmiah populer), pembicara (halus dan kasar), semangat (regional dan nasional).
Dalam pengertian sempit gejala bahasa menyangkut perubahan (penghilangan, pertukaran) dalam sebuah kata, seperti : sinkope, apokope, dan metatesis. Dalam pengertian luas gejala bahasa menyangkut berbagai bentuk perubahan bahasa. Baik lisan maupun tulisan. Gejala bahasa yang paling khas dengan demikian adalah gaya bahasa itu senndiri, termasuk majas. Rasa bahasa adalah perasaan yang timbul sesudah menggunakan, mendengarkan ragam bahasa tertentu. Bahasa tidak semata-mata mewakili makna hariah, makna denotatif, tetapi juga sebagai akibat konteks sosial.
Gaya merupakan salah satu cabang ilmu tertua dalam bidang kritik sastra. Menurut Fowler (1987:236) makna-makna yang diberikan sangat kontroversial, relevansinya menimbulkan banyaknya perdebatan. Gaya terkandung dalam semua teks, bukan bahasa tertentu, bukan semata-mata teks sastra. Gaya adalah ciri-ciri, standar bahasa, gaya adalah cara ekspresi. Meskipun demikian, pada umumnya gaya dianggap sebagai sebuah istilah khusus, semata-mata dibicarakan dan dengan demikian dimanfaatkan dalam bidang tertentu, bidang akademis yaitu bahasa dan sastra. Dengan pertimbangan bahwa gaya menyangkut masalah penggunaan bahasa secara khusus, maka sastralah, dalam hubungan ini karya sastranya yang dianggap sebagai sumber data utamanya. Perkembangan terakhir dalam sastra juga menunjukkan bahwa gaya hanya dibatasi dalam kaitannya dengan analisis puisi. Alasannya, diantara genre-genre karya sastra, puisilah yang dianggap sebagai memiliki pengguna bahasa paling khas.
Pada dasarnya gaya ada dan digunakan dalam kehidupan prakti sehari-hari. Hampir setiap ingkah laku dan perbuatan, sejak bangun pagi hingga tidur dimalam hari, disadari atau tidak, dilakukan dengan cara tertentu. Demikian juga semua hasil aktivitas manusia, yang disebut sebagai kebudayaan, diwujudkan melalui jalan tertentu, sesuai dengan minat, selera, dan kemauan penciptanya. Dengan singkat satu kegiatan apapun dilakukan oleh manusia tanpa memafaatkan cara tertentu, tanpa disertai pesan dari sang penciptanya. Pada gilirannya cara, gaya adalah tindakan dan pesan itu sendiri. Dengan singkat stilistika berkaitan dengan pengertian tenatang gaya secara umum, meliputi seluru aspek kehidupan manusia. Stilistika dalam karya sastra merupakan bagian stilistika budaya itu sendiri. Meskipun demikian, dengan adanya intensitas pengguna bahasa, maka dalam karya sastralah pemahaman stilistika paling banyak dilakukan.
Semua gaya (Murry, 1956 : 18, 71-72), dalam hubungan ini gaya karya sastra, khususnya karya sastra yang berhasil adalah artifisia, diciptakan dengan sengaja. Gaya dengan demikian adalah kualitas bahasa, merupakan ekspresi langsung pikiran dan perasaan. Tanpa adanya proses hubungan yang harmonis antara kedua gejala tersebut, maka gaya bahasa tidak ada. Gaya melahirkan kegairahan sebab gaya memberikan citra baru, gaya membangkitkan berbagai dimensi yang stagnasi.
Menurut Shipley (1957:341) stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya (style), sedangkan style itu sendiri berasal dari kata stilus (latin), semula berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis diatasbidang berlapis lilin. Bagi mereka yang dapat menggunakan alat tersebut secara baik disebut sebagai praktisi gaya yang sukses (stilus exercitotus), sebaliknya bagi mereka yang tidak dapat menggunakannya dengan baik disebut praktisi gaya yang kasar atau gagal (stilus rudis).
Stilus itu sendiri juga berasal dari akar kata ‘sti-’ berarti mencakar atau menusuk. Dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah style berarti pilar atau rukun yang dikaitkan dengan tempat untuk bersemedi atau bersaksi. Diduga akar dari kata ‘sti-’ juga diadopsi kedalam ilmu pengetahuan menjadi styloid dan dalam psikologi menjadi stimulus. Dalam bidang bahasa dan sastra style dan styistic berarti cara-cara penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu.
Kritik paling awal (Shipley, 1962:397) berasal dari tradisi Yunani, yaitu Plato dan Aristoteles. Keduanya menganggap gaya sebagai kualitas ekspresi. Perbedaannya, tradisi Platonik menganggap tidak semua ekspresi memiliki gaya, sedangkan tradisi Aristotelian menganggap gaya bersifat superior dan inferior, kuat dan lemah, baik dan tidak baik. Terlepas dari kedua tradisi klasik tersebut dalam teori modern Murry (1956:8) membedakan tiga pengertian mengenai gaya bahasa yaitu : a) gaya bahasa sebagai kekhasan personal ; b) gaya bahasa sebagai teknik eksposisi (penjelasan); dan c) gaya bahasa sebagai usaha pencapaian kualitas karya.
Terlepas dari minat para peneliti demikian juga masyarakat terhadap keberadaannya disatu pihak, melihat sejarah perkembangannya yang sangat panjang dipihak lain, gaya bahasa telah didefinisikan secara beragam d an berbeda-beda. Beberapa definisi yang perlu dipertimbangkan (Kutha Ratna, 2007:236), sebagai berikut :
a. Ilmu tentang gaya bahasa.
b. Ilmu Interdisipliner antara linguistik dengan sastra
c. Ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa
d. Ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra
e. Ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya sekaligus latar belakang sosialnya.
Kelima kondisi diatas dapat dibedakan menjadi dua kelompok, kelompok pertama (a)-(d), menggap bahwa gaya bahasa sebagai semata-mata terkandung dalam karya sastra itu sendiri. Kelompok kedua, yaitu nomor (e) menganggap hakikat gaya bahasa terkandung dalam totalitas karya sekaigus dalam kaitannya dengan masyarakat, seperti genrre dan periode.
Menurut Hough (1972: 1-3; Teeuw, 1988:71) sejak abad pertengahan, Renaissance, hingga abad ke-18 retorika telah berubaha menjadi bentuk puitika. Dengan kalimat lain konsep-konsep awal mengenai stilistika telah muncul meskipun masih daldam kaitannya dengan reorika.
Definisi sangat diperlukan dalam kaitannya dengan pemahaman suatu objek tertentu. Setelah mengemukakan pendapat, para ahli, Sukada (1987 :87) mendefinisikan gaya bahasa dalam sejumlah butir pernyataan: a) gaya bahasa adalah bahasa itu sendiri, b) yang dipilih berdasarkan struktur-struktur tertentu, c) digunakan dengan cara yang wajar, d) tetapi tetap memiliki ciri personal, e) sehingga memiliki ciri-ciri, f) sebab lahir dari diri pribadi penulisnya, g) disusun secara sengaja agar menimbulkan efek tertentu dalam diri pembaca, h) isinya adalah persatuan antara keindahan dengan kebenaran.
Dengan mempertimbangkan definisi gaya bahasa sebagai pemakaian bahasa secara khas disatu pihak, stilistika sebagai ilmu pengetahuan mengenai gaya bahasa dipihak lain, maka sumber penelitiannya adalah semua jenis komunikasi yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Jadi, meliputi baik karya sastra dan karya seni pada umumnya, maupun bahasa sehari-hari. Dabyshire (1971:11) menunjukkan dua cara untuk mengidentifikasi gaya bahasa, yaitu : a) secara teoristis bahasa yang khas pada umumnya dilakukan dalam kaitannya dengan penellitian ilmiah, misalnya seperti menganailisis karya sastra, b) secara praktis, melalui pengamatan langsung terhadap pemakaian bahasa sehari-hari, misalnya, melalui pemakaian berbagai perumpamaan. Keduanya tidak bisa dipisahkan sebab baik cara pertama maupun cara kedua dapat dilakukan sebagai penelitian ilmiah atau sebaliknya semata-mata sebagai pengamatan sepintas. Meskipun demikian, dikaitkan dengan relevansinya, sebagai kekhasan itu sendiri, bahasa yang artifisial, maka stilistika pada umumnya dibatasi pada karya sastra. Lebih khusus lagi adalah karya sastra jenis puisi.
Dominasi penggunaan bahasa khas dalam karya sastra diakibatkan oleh beberapa hal, sebagai berikut :
1. Karya sastra mementingkan unsur keindahan
2. Dalam menyampaikan pesan karya sastra menggunakan cara-cara tak langsung, seperti : refleksi, refraksi, proyeksi, manifestasi, dan representasi.
3. Karya sastra adalah curahan emosi, bukan intelektual.
Aspek keindahan, pesan tak langsung, dan hakikat emosional mengarahkan bahasa sastra pada bentuk penyajian terselubung, terbungkus, bahkan dengan sengaja disembunyikan. Ada kesan bahwa untuk menemukan pesan yang dimaksudkan, maka proses pemahamannya justru harus diperpanjang, misalnya dengan menciptakan jalan belok. Jadi, bahasa karya sastra berbeda dengan karya ilmiah yang justru menghindarkan unsur estetis, berbagai fungsi mediasi, dan emosionalitas. Bahasa ilmiah harus secara langsung diarahkan ke objek sasaran. Karya sastra juga berbeda dengan bahasa sehari-hari yang bersifat praktis dan cepat dimengerti.
Penggunaan bahasa khas bukan dalam pengertian bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa karya ilmiah. Tidak ada perbedaan prinsip seperti kosa kata dan leksikal antara bahasa sehari-hari dan bahasa ilmiah dengan bahasa yang digunakan oleh Amir hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, dan seterusnya. Ciri khas dan perbedaan diperoleh melalui proses pemilihan dan penyusunan kembali. Analog dalam kehidupan sehari-hari, gaya sebagai salah satu cara hidup diantara berbagai cara yang lain, gaya bahasa adalah masalah cara pemakaian yang khas, bukan bahasa khas yang berbeda dengan bahasa dalam kamus. Dengan kalimat lain, kekhasan yang dimaksudakan adalah kekhasan dalam proses seleksi, memanipulasi, dan mengkombinasi kata-kata. Pernyataan seperti ini perlu digarisbawahi sebab sampai saat ini masih ada pendapat yang mengatakan bahasa karya sastra benar-benar berbeda dengan bahasa sehari-hari. Apabila perbedaan ini memang ada, maka pada dasarnya tidak ada stilistika dan dengan sendirinya tidak ada karya sastra sebab pengarang tidak perlu bersusah payah berimajinasi menciptakan hal-hal baru. Pilihan tiulah yang memegang peranan sebab dalam proses tersebutlah yang terkandung kualitas proses kreatif, kemampuan imajinasi, dan energi kata-kata. Pilihan, kombinasi, adaptasi, asimilasi, dan inovasi memungkinkan terjadinya hasil ciptaan baru yang tidak pernah berakhir.
Kekuatan karya seni adalah kekuatan dalam menciptakan kombinasi baru. Oleh karena itulah, gaya bahasa disebu sebagai ‘penyimpangan’ dari bentuk-bentuk bahasa normatif. Dalam proses analisis Darbyshite (1971 :43-44) menunjukkan tiga cara dalam mengidentifikasi gaya bahasa.
1. Memperhatikan ‘tata bahasa’ stilistila yang memampukan peneliti untuk memahami berbagai bentuk norma tata bahasa sekaligus penyimpanannya. Cara ini pada dasarnya merupakan bidang linguistik.
2. Gaya bahasa aparatus kontekstual, pemakaian bahasa dengan mempertimbangkan hubungannya dengan masyarakat, misalnya, gaya bahasa sebagai manifestasi periodesasi.
3. Melalui kedua tata bahasa diataslah peneliti dapat menentukan makna karya sastra yang baik, kurang baik, atau sebaliknya.
Menurut Fowler (1987:237) sebagai kualitas ekspresi semua teks pada dasarnya menampilkan gaya bahasa. Puisi, prosa, drama, genre sastra utama dalam sastra modern.
Ciri khas puisi adalah kepadatan pemakaian bahasa sehingga paling besar kemungkinannya untuk menampilkan ciri-ciri stilistika.
Secara deskriptif pragmatis stilistika merupakan wilayah bahasa tetapi secara analitis estetis stilistika adalah willayah sastra. Dalam bidang linguistik, stilistika dibatasi oleh norma-normaketatabahasaan, oleh tatabahasa, sebaliknya dalam sastra dibatasi oleh ciri-ciri kesastraan, oleh puitika sastra. Meskipun demikian, pada umumnya stilistika dianggap sebagai bagian internal analisis linguistik. Pembagian wacana menjadi empat jenis kajian (Idat, 1994:6-14), seperti : a) kajian eksistensi (verbal dan non-verbal), b) media komunikasi (lisan dan tulisan), c) pemakaian (monolog, dialog, polilog), dan d) kajian dari segi pemaparan (naratif, deskriptif, proseedural, ekpositoris, hortotatori) jelas menunjukkan dominasi analisis linguistik. Kajian stilistika sastra hanya terkandung dalam subpemaparan secara naratif. Dalam teori konteporer analisis stilistika ditempatkan diantara bahasa dan sastra untuk selanjutnya memberikan posisi yang lebih dominan terhadap posisi karya sastra.
Secara praktis, khususnya dalam karya sastra, ruang lingkup stilistika adalah deskripsi penggunaan gaya bahasa secara khas. Disati pihak, Wellek dan Werren (1989:225-226), disinggung lagi pada bagian berikut (III.2) menyarankan dua cara untuk memahaminya, yaitu : a) analisis sistematis bahasa karya itu sendiri, sekaligus interprestasinya dalam kaitannya dengan makna keseluruhan, b) analisis mengenai ciri-ciri pembeda berbagai sistem dengan intensitas pada unsur-unsur keindahan. Makna totatas dan estetis menyarankan pada stilistika sastra, bukan bahasa. Shipley (1962:397-398) membedakan tujuh jenis gaya bahasa, sebagai berikut:
1) Gaya bahasa berdasarkan pengarang, seperti; gaya Shakespeare-an, Dantean, Homeric, dan gaya Militonic.
2) Gaya bahasa berdasarkan waktu, hari, decade, abad, peristiwa sejarah atau sastra, seperti; gaya pra-shakespeare, gaya abad keemasan Latin.
3) Gaya bahasa berdasarkan medium bahasa, seperti; gaya bahasa jerman, gaya bahasa Perancis.
4) Gaya bahasa berdasarkan subjek, seperti; gaya bahasa resmi, ilmu pengetahuan, filsafat, komis, tragis dan gaya didaktis.
5) Gaya bahasa berdasarkan subjek, seperti; gaya bahasa urban, professional, gaya New England.
6) Gaya bahasa berdasarkan Audienc, seperti; gaya bahasa umum, istanah, keluarga, populer, dan gaya mahasiswa.
7) Gaya bahasa berdasarkan tujuan atau suasana hati, seperti; gaya bahasa sentimental, sarkatis, diplomatis dan gaya bahasa informasional.
2.1.2. Sejarah Stilistika
Dewasa ini, stilistika telah menjadi sebuah cabang ilmu, yang berasal dari interdisipliner linguistik dan sastra. Sebelumnya, stilistika belum dikaji secara ilmiah. Dengan demikian sesungguhnya sudah sejak lama ditelaah. Di bawah ini diuraikan sejarah stilistika di Barat dan Indonesia Sejak zaman Plato (427-317 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) sesungguhnya telah ada kajian linguistik tentang proses proaktif dalam kesusastraan. Zaman Plato dan Aristoteles mungkin terlalu jauh dari zaman kita.
Pada 1916 telah terbit sebuah kata hasil kerjasama sastrawan dan bahasa berakhiran Formolisme Rusia judul buku itu, The Studi In Theory of Puitics Language. Pada 1923 Roman Jakobsan menulis tentang puisi Ceko yang menerapkan kriteria semantik modern dalam pengkajian struktur dan pola puisi.
Pada 1957, Chomsky membuka pandangan baru dalam linguistik dalam penerbitan bukunya Syntactic Structures. Kesusastraan merasakan dampak pandangan baru itu. Pada awalnya, sastrawan dan kritikus sastra memungsikan manfaat pengkajian linguistik terhadap karya sastra. Berbagai anggapan pengkajian demikian akan merusak keindahan seni karya sastra itu. Semakin lama semakin disadari bahwa pendekatan linguistik merupakan salah satu pendekatan yang dapat ditempuh untuk menemukan makna karya sastra. Analisis stilistika berupaya mengganti subyektif dan impressionisme yang digunakan kritikus sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu pengkajian yang relatif lebih obyektif dan ilmiah.
Pada 1973, terbit Stylistics, G.Tunner Harmsondworth, Penguin Books. Pada 1980, terbit buku Linguistics;for Students of Literatur A Stylistics Introduction of the study of Literatur Pergamo Fustitut of English, Oxford of Michael Cumming dan Robert Simon pada 1985, terbit Stylistics and Teaching of Literature.
Di Malaysia, stilistika juga mengalami perkembangan. Pada 1966, Yunus telah banyak menulis makalah stilistika. Ia termasuk pakar stilistika, di samping Mohammad Yusof Hasan dan Shahran Ahmad, makalah Yunus telah dibukakan dengan judul Dari Kata ke Ideologi: Fajar Bakti, Petalung Jaya 1985
Pada 1979 Mangantar Simanjuntak juga mulai membahas stilistika. Makalahnya berjudul Aplikasi Linguistik dalam Pengkajian dan Penulisan Karya Sastra. Ia menganalis teks sastra berdasarkan teori linguistik Transformatif Generatif. Pada saat yang sama mana Si Kana (Keris Emas), menulis makalah Kaktus-Kaktus Kemasan Safe Pengandaan Stilistika.
Pada 1980, persatuan Linguistik Malaysia mengadakan seminar bahasa dan sastra. Pada 1982 makalahnya dibukukan dengan judul Stilistika- Simposium Keindahan Bahasa yang disunting oleh Prof. Farid Onn. Penyumbang makalah adalah Prof. Farid Onn, Dr. Nik Safiah Karim, Awang Sariyah, Dr Mangantar Simanjuntak, Dr. Dahnil Adnani, Abdul Rahman Napiah, Hashim Awang, Prof. Kamal Hasan, dan Lutfi Abas. (Abas, 1990:25).
Pada 1985, jurusan Linguistik, jabatan pengkajian Melayu, Universiti, Melayu telah mengadakan satu langkah yang dinamakan Bengkel Stilistik. Dalam bengkel ini, beberapa makalah membahas aspek stilistika atau gaya bahas. Makalah-makalah telah diterbitkan dengan judul Stilistik: Pendekatan dan Penerapan.
Pada 1989, Yunus menerbitkan bukunya berjudul Stilistik: Satu Pengantar Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian, Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur. Di dalamnya dibahas tentang:
1) Berbagai pemahaman tentang gaya
2) Gaya sebagai Mekanisme Stilistik dan sebagai tanda.
Buku ini merupakan hasil pergelutan selama 30 tahun semenjak ia berkenalan dengan istilah stilistik, sejak itu ia selalu berdialog dengan persoalan stilistika. Di Indonesia stilistika juga mengalami sejarah dan perkembangan. Pada 1956, Slamat Mulyana menerbitkan buku Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Budaya, penerbit Ganaco, Bandung. Buku ini berisi sekalar pemandangan tentang Poesi juga biasa disebut Puitika. Pandangan Puitika tidak terlepas dari persoalan poetika pada hakikatnya adalah persoalan filsafat. Dengan demikian peristiwa sastra dihubungkan dengan peristiwa Bahasa Indonesia. Hal ini ada hubungannya dengan pengajaran bahasa. Kekurangan penyelidikan bahasa dan sastra Indonesia terasa sekali oleh pengajar di sekolah, yaitu sifat pembelajaran tidak lagi merupakan perluasan, tetapi pendalaman. Bahasa Indonesia merupakan salah satu fenomena yang berhubungan adat dengan manusia Indonesia.
Slamat Mulyana mendefinisikan stilistika adalah pengetahuan tentang kata yang berjiwa (1956:4) Istilah stilistika kemudian dikembangkan oleh Jassin. Ia menguraikan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya biasa orang menyebut gaya bahasa apa yang disebut Stijl dalam bahasa Belanda, Style dalam bahasa Ingggris, dan Perancis, Stil dalam bahasa Jerman.
Jassin selanjutnya mengemukakan bahwa kata gaya bahasa bermakna cara menggunakan bahasa. Di dalamnya tercakup gaya bercerita. Biasanya orang jika berbicara tentang stil seseorang pengarang yang dimaksud bukan saja gayanya dalam mempergunakan bahasa, melainkan juga gayanya bercerita. Seorang stilistikus atau ahli gaya bahasa menjawab pertanyaan mengapa seorang pembicara atau pengarang menyatakan pikiran dan perasaan seperti yang dilakukan dan tidak dalam bentuk lain, atau bagaimana keharmonisan gabungan isi dan bentuk.
Pada 1982, Sudjiman membuat Diktat Mata Kuliah Stilistika, Program S1. Universitas Indonesia. Kemudian Ia menerbitkan buku Bunga Rampai Stilistika. Grafiti, Jakarta 1993. Istilah stilistika sejak 1980-an ini mulai dikenal di dunia Pengetahuan Tinggi sebab telah menjadi satu disiplin ilmu. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan selama ini bahwa dalam usaha memahami karya sastra para kritikus sastra menggunakan pendekatan intrinsik dan ekstrisik, bahkan ada yang menggunakan beberapa pendekatan sekaligus. Semua itu ada hukum untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang alasan pengarang menciptakan karya tertulis, gagasan yang hendak disampaikan ataupun hal-hal yang mempengaruhi cara penyampaiannya semua itu dilakukan untuk merebut makna yang terkandung dalam karya sastra serta menikmati keindahannya. Karena medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa, pengantar bahasa pasti akan mengungkapkan hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu karya sastra atau bagian-bagiannya untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian ini disebut pengkajian stilistika. Dalam pengkajian ini tampak relevansi linguistik atau ilmu bahasa terhadap studi sastra. Dengan stilistika dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra. (Sudjiman,1993:VII).
Pada 1986, Natawidjaja menerbitkan buku Apresiasi Stilistika, Intermasa, Yogyakarta. Dalam buku ini diuraikan penggunaan bahasa suatu karya sastra melalui aspek bahasa misalnya peribahasa, ungkapan, gaya bahasa dalam karya sastra. Buku ini sangat bermanfaat bagi siswa SMA dan mahasiswa yang ingin meningkatkan pemahaman mengenai stilistika bahasa Indonesia.
Di Universitas Gadjah Mada, penelitian skripsi sarjana juga membahas masalah stilistika. Hal ini sudah dilaksanakan sejak 1958 sampai dengan sekarang ini, misalnya, Budi S telah membuat skripsi tentang Bahasa Danarto dalam Godiob: Kajian Stilistika Cerpen-cerpen Danarto, 1990. Ia memberi penekanan analisis terhadap kosa kata, majas (bahasa kiasan), sarana retorika, struktur sintesis, interaksi bahasa dan humor dari mantra (Puleh, 1994:X).
Pada 1993, Lukman Hakim membahas stilistika judul makalahnya Tinjauan Stilistika Terhadap “Robohnya Suroau kami”, (AA. Navis). Ia membahas cerita pendek ini dari sisi gaya bahasa/stil, pengarangnya terutama yang berhubungan dengan 1). struktur kalimat yang dihubungkan dengan gaya bercerita. 2). pemilihan leksikal yang dikaitkan dengan pemakaian majas (Depdikbud, 1993:28-38, Bahasa dan Sastra, X.4).
Pada 1995, Aminuddin menerbitkan bukunya Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, IKIP Semarang, Press, Semarang. Kajian stilistika dalam buku ini terdiri dari enam bab. Bab 1 Pengertian Gaya dalam Perspektif Kesejarahan. Bab 2 Studi Stilistika dalam Konteks Kajian Sastra. Bab 3 Bentuk Ekspresi sebagai Pangkal Kajian Stilistika. Bab 4 Aspek Bunyi dalam Teks Sastra. Bab 5 Bentuk Simbolik dalam Karya Sastra. Bab 6 Bentuk Bahasa Kias dalam Karya Sastra.
Pada 2003, Tirto Suwondo membahas cerpen dengan pandangan stilistika, judul makalahnya Cerpen Dinding Waktu, karya Danarto, Studi Stilistika dimuat dalam bukunya Studi Sastra Beberapa Alternatif, Hanindita, Yogyakarta, 2003. Suwondo berkesimpulan bahwa cerpen dinding waktu karya Danarto kaya akan gaya bahasa, baik gaya bahasa berdasarkan struktur kata dan kalimat maupun berdasarkan langsung atau tidaknya makna (2003:158).
2.1.3 Stilistika dan puisi
Pembicaraan hubungan antara bahasa dengan sastra merupakan masalah yang sangat penting. Medium utama sastra adalah bahasa sehingga keduanya berkaitan sangat erat, tidak bisa dipisahkan. Dalam genre tertentu, seperti puisi, bahasa bukan semata-mata alat melainkan juga tujuan itu sendiri.
Dikatkan dengan masalah diatas, untuk salah satu genre sastra yaitu puisi, setidaknya ada pengkajian yang mendalam. Walaupun hanya terpaut pada dasar saja.
Kajian puisi itu sendiri yaitu,
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
(1) Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
(2) Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
(3) Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
(4) Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).
(5) Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.
Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
Adapun unsur-unsur dalam puisi yaitu,
(1) Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima.
(2) Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.
(3) Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku mereka bisa dilihat adanya (1) sifat puisi, (2) bahasa puisi: diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3) bentuk: nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.
(4) Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.
(5) Meyer menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3) bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk (Badrun, 1989:6).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif, (8) kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima).
Struktur Fisik Puisi
(1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
(3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5) Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
Struktur Batin Puisi
(1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
(2) Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
(3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
Apabila dikaitkan dengan bahasa sastra itu sendiri, ada duja pendapat yang berbeda secara diameter. Pendapat pertama mengatakan bahwa berbeda dengan bahasa sehari-hari, medium sastra adalah bahasa yang khas. Sebaliknya pendapat keudua menggatakan bahwa bahasa sastra pada dasarnya sama dengan bahasa sehari-hari.
Bahasa sastra adalah sistem model kedua dengan kualitas estetis, gaya bahasalah yang menjadi unsur pokok untuk mencapai berbagai bentuk keindahan.
Roman Jakobson (1987:71) mengungkapkan enam fungsi bahasa, yaitu: emotive, referenial, poetic, phatic, metalingual, dan conative. Dari keenam fungsi tersebut jelas yang terpenting adalah ungsi puisi. Sesuai dengan visi formalisme pada umunya puisi Jakobson menganggap karya sastra dapat dipahami dan dijelaskan terlepad dari latar belakang sosial yang ada diluarnya. Oleh karena itu, pendapat ini dikritik oleh Marry Louise Pratt (1977:xiii), bahasa sastra bukan ragam tertentu, tidak ada bahasa yang khas, yang ada hanyalah bahasa pemakaian yang khas. Penolakan yang sama juga dilakukan oleh Wolfhang Iser (1987:54-55), sebagai unit komunikasi tindak kata adalah ujaran dalam kondisi tertentu, melalui konteks inilah kata-kta memperoleh makna.
Menurut Trodov (1985:4-11) puisi tidak berusaha mengungkapkan makna, tetapi menemukan kaidah-kaidah umum yang mendahului kelahiran sastra. Oleh karena itulah, menurutnya puisi sebagai mengabaikan keseimbangan yang sudah terjalin antara Hermeniutika dengan karya sastra.
Apabila diakitkan dngan genre utama sastra (III.3) yaitu, puisi, prosa dan drama, seperti disinggung di beberapa tempat pembicraan ini, gaya bahsa paling dominan dalam puisi. Gaya dengan demikian mendominasi struktur puisi. Dengan kalimat lain, puisi seolah-olah merupakan struktur gaya bahasa. Selain puisi naratif, puisi pada dasarnya tidak menampilkan cerita, puisi hanya melukiskan tema, irama, rima, dan gaya bahasa itu sendiri. Dengan cara yang berbeda puisi-puisi kongkret harus dipahami dalam kaitannya dengan struktur visualisasi, didalam kata-kata dianggap tidak mampu untuk mewakili ide pengarang. Oleh karena itulah, kata-kata harus dikembalikan pada suku kata, huruf, dan bunyi, bahkan sebagai citra tertentu.
Harus diakui bahwa Indonesia kaya dengan jenis sastra terkait, baik sastra lama maupun modern. Puisi modern lebih-lebih sesudah adopsi formal bahasa Indonesia, baik sebagai nasional maupun bahasa resmi mengalami perkembangan yang sangat positif. Perkembangan yang sama juga terjadi dibidang prosa. Timbul kesadaran intelektual yang sangat besar diantara para seniman untuk mengisi kemerdekaan dengan cara menciptakan karya sastra. Sejak pujangga baru, satu dasawarsa sesudah kebangkitan nasional, dengan dipelopori para pendirinya, penulis puisi dan prosa berkembang pesat. Klimaksnya adalah Angkatan ’45 melalui karya-karya Chairil Anwar. Periode berikutnya dengan ditopang oleh majalah Horison terbit pertama kali juli 1966 dengan ketuja redaksi Mochtar Lubis, dengan anggota HB. Jassin, Taufiq Ismail, Soe Hok Djin Arif Boediman), DS. Moeljanto, dan pelukis Zain (Teeuw, 1989:51) perkembangan sastra Indonesia Modern perlu diberikan penghargaann. Dengan segala ketebatasannya Horison memiliki nilai terendiri dalam mengembangkan sekaligus membawa nama-nama sastrawan ke puncak keberhasilan.
2.1.4 Latar Belakang Penciptaan Puisi tahun 1942-1945
Ketika kekerasan telah mematikan unsur kemanusiaan, puisi seolah terdakwa untuk menggugatnya. Ketika lembaran sejarah begitu amis dengan darah, puisi juga turut merekamnya.
Tatkala perang dunia Asia Timur Raya meletus dan balatentara Jepang dengan gagah perkasa menaklukkan daerah demi daerah sekitar Laut Pasifik, tidak sedikit orang Indonesia yang merasa girang atas kemenangan-kemenangan yang diperoleh Jepang itu. Girang karena janji-janji yang bagus telah diteriakan lebih dahulu dengan perantara Radio Tokyo yang menjanjikan akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa-bangsa Ttimur yang terjajah, juga kepada Indonesia.
Buah kesusastraan adalah lukisan jiwa dan lukisan sekitar dipandang dari sesuatu kesadaran. Masa tiga setengah tahun adalah waktu yang terlalu singkat untuk membagi-bagi aliran pikiran-pikiran menurut masa, bulan dan hari yang tertentu, berhubungan kejadian-kejadian yang menimbulkan harapan, kecemasan dan kekhawatiran meratapi kekalahan. Keinsafan sekian banyak penyair dan pengarang tidak semuanya serupa dalam perjalanan mencapai kepastian. Mugkin kepada seorang pengarang kelihatan perjalanan itu, tapi itu belum bisa menjadi ukuran bagi perjalanan keinsafan dan kesadaran masyarakat seluruhnya.
Puisi sebagai sebuah karya, mempunyai kaitan erat antara penyair dan latar belakang penciptaannya, seperti aliran, filsafat, dan latar belakang sosial budaya pada zaman penciptannya. Hal-hal tersebut mewarnai puisi-puisi yang diciptakan oleh si penyair itu sendiri. Puisi tidaklah lahir dari kekosongan budaya, melainkan dalam konteks sosial dan realitas di zamannya.
Kesusastraan Indonesia atau kesusastraan bangsa mana pun juga di dunia ini pada dasarnya merupakan potret sosial budaya masyarakatnya. Ia berkaitan dengan perjalanan sejarah bangsa itu. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa yang bersangkutan.
Perubahan drastis dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik di Indonesia, terjadi selepas bala tentara Jepang masuk menggantikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam masa pemerintahan pendudukan Jepang (Maret 1942—Agustus 1945), segala potensi diarahkan untuk kepentingan perang. Maka, kesusastraan pun dijadikan alat propaganda pemerintah pendudukan Jepang untuk mengobarkan semangat Asia Timur Raya.
Kehidupan kesusastraan Indonesia pada masa itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik, ekonomi. Ambruknya kehidupan ekonomi pada masa itu yang menempatkannya berada pada titik terendah, ikut pula mempengaruhi kerja kreatif para sastrawan. Maka membuat karya yang lebih cepat mendapatkan uang menjadi pilihan yang lebih rasional. Itulah sebabnya, ragam puisi dan cerpen pada zaman Jepang itu jauh lebih banyak dibandingkan novel. Demikian juga penulisan naskah drama menempati posisi yang sangat baik mengingat propaganda melalui pementasan sandiwara (drama) dianggap lebih efektif. Itulah sebabnya, pemerintah pendudukan Jepang menyediakan banyak panggung atau gedung pementasan sebagai sarana penyebarluasan propaganda melalui pementasan-pementasan drama.
Pada masa inilah bahasa Indonesia mengalami pematangan, seperti tampak pada sajak Chairil Anwar dan prosa Idrus yang tidak hanya sekedar alat untuk bercerita atau menyampaikan berita, tetapi telah menjadi alat pengucap sastra yang dewasa. Usaha inilah yang menyebabkan dimulainya suatu tradisi puisi Indonesia yang hampir tak terbatas. Bahasa sajak Chairil Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan, tetapi bahasa sehari-hari yang menulang-sumsum, membersit spontan.
Kehidupan yang morat-marit juga mengajar para pengarang supaya belajar hemat dengan kata-kata. Setiap kata, kalimat, setiap alinea ditimbang dengan matang, baru disodorkan kepada pembaca. Juga segala superlativisme dan perbandingan yang penuh retorika yang menjadi cirri dan kegemaran para pengarang pujangga baru telah ditinggalkan.
2.1.5 Aspek – aspek Stilistika
Kajian Stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan system tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan. Landasan empiric merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati, memahami, dan menghayati system tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang.
Dari penjelasan selintas di atas dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi : 1) Analisis tanda baca yang digunakan pengarang 2) Analisis hubungan antara system tanda yang satu dengan yang lainnya 3) Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin : 1995 : 98).
Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impesionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika ini diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektifitas dan keilmiahan (Aminuddin :1995 : 42).
Pada penelitian ini prosedur analisis yang digunakan diantaranya :1) Analisis aspek diksi dan gaya bahasa dalam serat Wedhatama Winardi karya Mangku Nagara IV 2) Analisis aspek-aspek kebahasaan seperti manipulasi paduan bunyi dalam serat Wedhatama Winardi karya Mangku Nagara IV 3) Analisis gagasan atau makna yang dipaparkan dalam serat Wedhatama Winardi karya Mangku Nagara IV.
Diksi
Diksi adalah pilihan kata untuk memperoleh efek tertentu dalam pidato, drama, dan karang mengarang. Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan ide atau gagasan-gagasan pengarang.
Selain itu, diksi bukan hanya sebagai kata-kata yang diberikan untuk menyatakan kata-kata yang mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide, gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan(Gorys Keraf, 2004 : 23). Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi.
Menurut Gorys Keraf (2004: 24) pengertian diksi yang pertama adalah mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua diksi atau pilihan kata adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau pembendarharaan kata bahasa itu.
Dalam memilih kata-kata ini seorang pengarang harus mempunyai keluasan kosakata. Tentu saja keluasan kata-kata yang diarahkan untuk mencapai efek estetis atau keindahan.
Gaya Bahasa
Pengertian mengenai gaya bahasa sangat beragam definisinya namun menunjukkan adanya persamaan, bahwasanya gaya bahasa merupakan cara bertutur secara tertentu guna mendapatkan efek tertentu pula, yakni efek estetika atau kepuitisan.
Menurut Gorys Keraf ( 2004:112 ) pengertian gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style itu sendiri diturunkan dari kata Latin stilus yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Akan tetapi kelak selanjutnya kata style dapat diartikan sebagai kemampuan dan keahlian untuk menulis dan mempergunakan kata-kata secara indah. Aminuddin memberi penjelasan bahwa gaya bahasa atau style merupakan teknik serta bentuk gaya seseorang dalam memaparkan gagasan sesuai sengan ide dan norma yang digunakan sebagaimana ciri pribadi pemiliknya (1995: 4). Pengertian gaya bahasa tersebut dikemukakan pada wawasan retorika klasik. Jadi gaya bahasa pada masa retorika klasik dipandang sampai pada sejenis ornament atau perhiasan lahir atau dalam bahasa Jawa disebut dengan basa rinenggo.
Harimukti Kridalaksana (2001: 63) memberikan pengertian mengenai gaya bahasa atau style adalah (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Menurut Pradopo (1991: 137) gaya bahasa adalah cara penggunaan bahasa yang khusus untuk mendapatkan efek-efek tertentu dalam suatu karya sastra.
Gaya bahasa stilistik dalam arti umum adalah penggunaan bahasa sebagai media komunikasi secara khusus, yaitu penggunaan bahasa secara bergaya dengan tujuan untuk ekspresifitas, menarik perhatian, atau untuk menimbulkan daya pesona (Pradopo, 1990: 139).
Dilihat dan segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa yang memungkinkan pembaca atau pendengar dapat menilai pribadi watak dan kemampuan pengarang yang menggunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya semakin baik pula penilaian orang terhadapnya, semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin unik pula penilaian yang diberikan kepadanya. Jadi, dapat dibatasi bahwa penggunaan gaya bahasa merupakan cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 1984 :,113).

BAB III
ANALISIS
3.1. Analisis Puisi
Dalam penelitian akan menganalisis “Doa” yang akan dibagi beberapa tahap mulai dari gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat, citraan, hingga sampai pada pemaknaan. Selain itu juga akan dianalisis dari segi tema, perasaan, nada dsn suasana, serta amanat.
Doa
(Chairil Anwar)
Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

1. Gaya Bunyi
Dalam puisi, bunyi berperan penting karena bunyi menimbulkan efek dan kesan tertentu. Bunyi dapat menekankan arti kata, mengintensifkan makna kata dan kalimat, bahkan dapat mendukung pencipta suasana tertentu dalam puisi. Gaya bunyi dalam puisi itu dapat dikemukakan sebagai berikut.
Puisi ini secara keseluruhan didominasi oleh adanya bunyi /u/.bunyi /u/ yang mendominasi keseluruhan puisi ini mempunyai fungsi menimbulkan suasana sedih, haru, pasrah, rela, sunyi, dan sepi. Bunyi /u/ terasa yang mewarnai keseluruhan puisi, sengaja dimanfaatkan oleh penyair untuk mencapai efek makna sekaligus juga untuk mencapai efek estetik.
Pengulangan rima (persamaan bunyi pada akhir kata) juga mendominasi keseluruhan puisi. Dalam hal ini terdapat pengulangan rima akhir. Pengulangan rima akhir pada keempat bait itu membentuk pola yang sama sehingga menimbulkan kedekatan, kekhusu’an, keakraban penyair sebagai makhluk dengan Tuhan.
Pengulangan rima akhiran pada baris pertama pada bait kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan kelima, didukung oleh kata dan kalimat yang sama.
Tuhan-Ku
Ada yang menarik lagi, meskipun dengan kata yang berbeda-beda, pada baris ketiga dalam bait kesatu, kedua, dan kelima terdapat pengulangan rima tengah dengah bunyi /i/.
Pada bait kesatu:
Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh

Pada bait kedua:
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Pada bait ketiga:
Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

2. Gaya Kata (Diksi)
Untuk menghidupkan lukisan dan memberikan gambaran yang jelas sesuai dengan gagasan sesuai dengan gagasan yang ingin dikemukakan oleh penyair dalam puisi “Doa” banyak memanfaatkan kata konotatif disamping kata konkret. Kata konotatif mempunyai arti yang tidak langsung yang bersifat tambahan atau menimbulkan asosiasi tertentu. Kata konotatif sekaligus untik menciptakan bahasa kias. pemanfaatan kata konotatif ataupun bahasa kias sengaja dilakukan untuk menyatakan sesuatu secara tidak langsung.
Dinyatakan Riffaterre (dalam Ali Imron, 2009: 152), bahwa pelukisan sesuatu untuk unkapan secara tidak langsung itu merupakan konvensi sastra, terlebih puisi. Ekspresi langsung dilakukan oleh penyair karena tiga hal yaitu: (1) penggantian atau pemindahan arti (displacing of meaning), (2) Penyimpangan arti (distrosing of meaning), penciptaan arti (creating of meaning).
Bait 1 dimanfaatkan bahasa kias berupa majas metafora untuk melukiskan kedekatan antara penyair dengan Tuhan dalam berdoa, pada baris ketiga /Aku masih menyebut nama-mu/ “Aku” adalah wahana sedangkan “masih menyebut namamu” merupakan tenor.
Bait 2 majas hiperbola dimanfaatkan pada bait 2 dengan melukiskan sesuatu secara berlebihan. Hiperbola dimanfaatkan untuk menyangatkan arti guna menciptakan efek makna khusus. Yaitu melukiskan bahwa dalam suasana yang gelap dan tenang penyair berdoa memuji tuhannya dengan penuh keikhlasan supaya doanya dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa Yang dilukiskan dengan bentuk /Caya-Mu panas suci/ /Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi/.
Bait 3 memanfaatkan majas hiperbola pada baris kedua /Aku hilang bentuk remuk/ yaitu melukiskan sesuatu yang berlebihan sehingga menimbulkan efek makna khusus.
Bait 4 memanfaatkan majas metafora yang melukiskan bahwasanya penyair rela melakukan apa saja untuk mendapakan ridho dari Yang Maha Kuasa. /Aku mengembara di negeri asing/ merupakan majas metafora, membandingkan sesuatau tanpa menggunakan perbandingan. “Aku” adalah wahana sedangkan “mengembara di negeri asing” adalah tenor.
Majas hiperbola juga dimanfaatkan dalam bait 4 untuk melukiskan sesuatu secara berlebihan. Dalam hal ini hiperbola menyatakan kedekatannya antara penyair dengan Tuhan, rela mengembara kesebuah negeri asing yang sangat jauh demi mendekatkan diri pada Tuhannya yang dilukiskan dengan /Aku mengembara di negeri asing/.
3. Gaya Kalimat
Kepadatan kalimat dan bentuk yang ekspresif sangat diperlukan dalam karya sastra khususnya puisi. Mengingat bahwa puisi hanya inti gagasan atau pengalaman batin yang dikemukakan. Hanya yang penting dan inti yang dikemukakan dalam puisi (Ali Imron, 2009:154).
Pada baris pertama bait 1, 2, 3, 4, 5, sebenarnya dapat disisipkan kata “Wahai” agar lebih jelas dan terfokus. Namun itu diimplisitkan agar lebih padat dan efektif.
/(Wahai) Tuhanku/
...........................
Baris kedua bait 1, 3, 4, dan baris ketiga bait 5, sebenarnya juga dapat disisipi dengan kalimat “dan semua umat-mu”, tetapi ini diimplisitkan supaya lebih padat dan efektif.

Bait 1
.............................................
Aku(dan semua umat-mu) masih menyebut nama-Mu
Bait 3
.................................................
Aku(dan semua umat-mu)hilang bentuk
Bait 4
................................................
Aku(dan semua umat-mu)mengembara di negeri asing
Bait 5
.................................................
Aku(dan semua umat-mu) tidak bisa berpaling
Pemadatan kalimat dengan mengimplisitkan bagian kalimat tertentu pada puisi tersebut selain kalimat menjadi ringkas dan efektif juga mampu menciptakan suasana tersendiri baik keakreban antara si penyair dengan Tuhannya.
4. Citraan
Pencitraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gamabaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu bagi para pembacanya. Cuddon (dalam Ali Imron, 2009: 158) menjelaskan bahwa citraan kata meliputi penggunaan bahassa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, dan pengalaman indera yang istimewa.
Di tangan sastrawan yang pandai, demikian Coombes (dalam Ali Imron, 2009: 158), imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk mengintensifkan, menjernihkan, memperkaya, sebuah imaji yang berhasil membentuk pengalaman menulis terhadapa objek atau situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis, dan segera dapat dirasakan.
Dalam puisi “Doa” penyair memanfaatkan citraan untuk menghidupkan imaji pembaca melalui ungkapan yang tidak langsung. Pada bait 1 penyair memanfaatkan citraanvisual dengan memanfaatkan bahasa kias berupa majas metafora untuk melukiskan kedekatan antara penyair dengan Tuhan, sehingga timbul keakraban, kekhusukan ketika merenung menyebut nama Tuhannya.
Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh

Bait 2 penyair mengguanakan citraan visual dengan majas hiperbola untuk melukiskan sesuatu secara berlebihan. Hiperbola dimanfaatkan untuk menyangatkan arti guna menciptakan efek makna khusus. Yaitu melukiskan kedekatana antara penyair dengan Tuhannya. Yang dilikiskan pada baris ketiga, disini penyair melebih-lebihkan kedekatanya, ketulusan, dan kepasrahannya kepada Tuhan /Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi/. Disini kedekatan antara penyair dan Tuhan, didalam sebuah kesunyian ketika merenung berdoa, hanya cahaya lilin yang redup dalam kesunyian malam.
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Bait 3 menggunkan citraan vusual memanfaatkan majas hiperbola pada baris kedua /Aku hilang bentuk remuk/ yaitu melukiskan sesuatu yang berlebihan sehingga menimbulkan efek makna khusus. Disini dalam keheningan malam, berdoa menyebut nama Tuhannya dengan sepenuh hati hingga badannya bagaikan hilang dan remuk, rela badanya remuk tak tersisa demi Tuhannya.
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Bait 4 juga menggunakan pencitraan visual dengan memanfaatkan majas metafora yang melukiskan kedekatan antara penyair dengan Tuhannya /Aku mengembara di negeri asing/ merupakan majas metafora, membandingkan sesuatau tanpa menggunakan perbandingan. Membandingkan keseriusannya dan kehusukannya dalam berdoa, dengan pengembaraannya ke negeri asing.
Majas hiperbola juga dimanfaatkan dalam bait 4 untuk melukiskan sesuatu secara berlebihan. Dalam hal ini hiperbola menyatakan kedekatannya antara penyair dengan Tuhan, rela mengembara kesebuah negeri asing yang sangat jauh demi mendekatkan diri pada Tuhannya yang dilukiskan dengan /Aku mengembara di negeri asing/. Disisni keseriusan dalam berdoa dirbaratkan mengembara ke negeri asing. Dimanapun berada tetap ingat dan patuh dengan menyebut nama Tuhannya, karena kita hidup hanyalah sebagai sebuah pengembaraan.
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Pemanfaatan pencitraan dalam puisi tersebut mampu menghidupkan imaji pembaca dalam merasakan apa yang diasakan oleh penyair, dengan menghayati pengalaman religi penyair.
5. Kajian Makna Stilistika Puisi “Doa”
Makna karya sastra merupakan formulasi gagasan-gagasan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Mengacu pada teori semiotik, karya sastra merupakan sistem komunikasi tanda. Oleh karena itu, apa pun yang tercantum dalam karya sastra merupakan tanda yang mengandung makna yang implisit di balik ekspresi bahas yang eksplisit. Dalam konteks ini ahli semiotika Perce (dalam Ali Imron, 2009: 161) membedakan tiga kelompok tanda yaitu (1) ikon, (2) indeks, (3) simbol.
a. Penafsiran Judul
Puisi “Doa” mengungkapkan tentang tema ketuhanan. Seseorang seseorang merenung si dalam kesunyian, ia memohon, berharap dan melantunkan pukian kepada Tuhan.
b. Gambaran Umum
Puisi karya Chairil Anwar yang berjudul “Doa” menggambarkan sussana sunyi mengharukan yang jauh dari keramaian karena dalam sussana yang tenang, situasi yang tepat untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain utu puisi di atas juga memiliki corak keagamaaan atau lebih kental dengan nilai-nilai religi (keislaman), dapat dilihat dari judulnya “Doa” sajak-sajaknya mengungkapkan perasaan seseorang yang ingin selalu dekat dengan tuhannya. Dengan ketulusan hati ia percaya akan kekuasaan dan kebesaran tuhan bahwasanya Dialah yang membuat kehidupan ini dan setelah adanya hehidupan hanya kepada Dialah kita akan kembali (Allah SWT).
c. Penelompokan Tanda
1. Indeks:
Panas: Api
Suci: Bersih
Sunyi: sepi
Remuk; Hancur
2. Simbol
Hilang: menandakan tidak ada, pergi.
Remuk: menandakan hancur, musnah.
Kerlip lilin: menandakan redupnya sahaya atau sinar.
Kelam: menanddakan kegelapan malam.
Mengembara; menandakan seorang penyair melakukan perjalanan, berpindah tempat, hijrah.



d. Parafrase
“Doa”
(Wahai) Tuhanku
(Di) Dalam (sana aku) termenung
(Di) dalam termenung) Aku masih (tetap) menyebut nama-Mu
Biar (pun) susah (akau tetap) sungguh (sungguh)
Mengingat Kau (dengan se) penuh (hati dan) seluruh (jiwa raga)
Sinar) Ca(ha)ya-Mu (yang) panas (tapi) suci
Tinggal (kan) kerlip lilin di kelam (yang) sunyi
(Wakai) Tuhanku
Aku (meng) hilang (tak ber) bentuk
(Tubuhku) Remuk
(Wahai) Tuhanku
Aku Rela) mengembara di negeri asing
(Wahai) Tuhanku
(Hanya) Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku (benar-benar) tidak bisa berpaling (darimu)

e. Tema
Puisi “Doa” karya Chairil Anwar di atas mengungkapkan tema tentang ketuhanan. Hal ini dapat kita rasakan dari beberapa bukti. Pertama, diksi yang digunakan sangat kental dengan kata-kata ketuhanan. Kata “Doa” yang digunakan sebagai judul menggambarkan sebuah permohonan atau komunikasi seorang penyair dengan tuhan atau Sang Pencipta alam dan seisinya. Kata-kata lain yang mendukung tema adalah: Tuhanku, nama-Mu, mengingat Kau, caya-Mu, di pintu-Mu. Kedua, dari segi isi puisi tersebut menggambarkan sebuah renungan dalam sebuah kesendirian dari seorang penyair yang menyadari bahwa ia tidak bisa terlepas dari Tuhan sebab kita hidup karena Tuhan, kita mati juga karena Tuhan, dan hanya kepada Tuhan kita semua akan kemali.
Dari cara penyair memaparkan isi hatinya, puisi”Doa”sangat tepat bila digolongkan pada aliran ekspresionisme, yaitu sebuah aliran yang menekankan segenap perasaan atau jiwanya.. Seperti pada kutipan larik berikut :
(1) Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
(2) Aku hilang bentuk
remuk
(3) Di Pintu-Mu aku mengetuk
Akut idak bisa berpaling

Puisi yang bertemakan ketuhanan (Doa) ini memang mengungkapkan dialog dirinya (penyair) dengan Tuhan. Kata “Tuhan” yang disebutkan beberapa kali memperkuat bukti tersebut, seolah-olah penyair sedang berbicara atau berkomunikasi dengan Tuhan.
f. Nada dan Suasana
Nada berarti sikap penyair terhadap pokok persoalan atau sikap penyair terhadap pembaca. Sedangkan suasana berarti keadaan perasaan pembaca sebagai akibat pembacaan puisi.
Nada yang berhubungan dengan tema ketuhanan menggambarkan betapa dekatnya hubungan penyair dengan Tuhannya. Berhubungan dengan pembaca, maka puisi “Doa” tersebut bernada sebuah ajakan terhadap pembaca, agar pembaca menyadari bahwa hidup dan mati kita ini karena Tuhan, maka kita tidak bisa berpaling dari ketentuan Tuhan. Karena itu, dekatkanlah diri kita dengan Tuhan.
g. Perasaan
Perasaan berhubungan dengan suasana hati penyair. Dalam puisi ”Doa” gambaran perasaan penyair adalah perasaan terharu dan rindu. Perasaan tersebut tergambar dari diksi yang digunakan antara lain:
Aku termenung, menyebut nama-Mu,
Aku hilang bentuk,
remuk,
Aku tak bisa berpaling.

h. Amanat
Sesuai dengan tema yang diangkatnya, puisi ”Doa” ini berisi amanat kepada pembaca agar menghayati hidup dan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Agar bisa melakukan amanat tersebut, pembaca bisa merenung (termenung) seperti yang dicontohkan penyair. Penyair juga mengingatkan pada hakikatnya hidup kita hanyalah sebuah ”pengembaraan di negeri asing” yang suatu saat akan kembali juga. Hal ini dipertegas penyair pada bait terakhir sebagai berikut:
Tuhanku,
Di Puntu-Mu Aku mengetuk
Aklu tidak bisa berpaling
Sebagaimana telah dikemukan di atas bahwa Chairil Anwar adalah salah seorang pelopor angkatan 45 yang banyak menulis karya sastra dengan gayanya sendiri. Gaya pada dasarnya merupakan cara yang digunakan penutur dalam memaparkan gagasan sejalan dengan tujuan dan motif yang melatarbelakanginya. Guna mencapai tujuan dengan berbagai motif tersebut penutur selain secara kreatif menggarap aspek isi tuturannya juga menggarap bentuk perlambangan sebagaimana terwujud dalam system tandasnya dengan harapan dapat mewujudkan paparannya yang hidup dan imajinatif, padat dan kaya, gagasan jernih tapi sublimatis, dan gagasan yang kompleks.
Penggunaan gaya juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan, Puisi misalnya gaya pengolahan gagasan maupun penataan bentuknya berbeda dengan bentuk prosa fiksi. Salah satu yang dimiliki oleh penyair ini adalah kemampuannya pada penggunaan bunyi dalam karya sastranya yang terjadi antara bunyi vokal dan konsnonan. Hal itu dapat dikaji dalam puisi berikut.
SENJA DI PELABUHAN KECIL KARYA CHAIRIL ANWAR
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Diantara gudang rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri berjalan
Menyisiri semenangjung , masih pengap harapan
sekali tiba di ujung dan sekali selamat dijalan
Dari pantai keempat, seduh penghabisan bisa terdekap
(a) Diksi
Pilihan kata dalam puisi ini terlihat biasa dan terkesan kata-kata yang digunakan dalam kesehariaannya. Tetapi arti katanya bukan arti yang sebenarnya. Walaupun dengan kata-kata yang biasa tapi Chairil memberikannya sebaagai kata-kata yang mengandung makna konotasi. Seperti kata gudang, rumah tua pada cerita, tiang serta temali, mempercaya mau berpaut kata-kata ini bermakna sebuah kedukaan. Bagi penyair gudang dan rumah tua dianggap sebagai sesuatu yang tak berguna seperti dirinya yang dianggap tiada berguna lagi. Kata ”mempercaya mau berpaut” itu sebenarnya juga berarti harapan Chairil akan kekasihnya.
Pilihan kata seperti kelam dan muram juga memberi kesan pada makna kesedihan yang dirasakan. Kata menemu bujuk pangkal akanan juaga merupakan harapan penyair. Sedangkan kata tanah dan air yang tidur juga menyatakan suatu kebekuan.
Chairil mampu mengolah pilihan katanya sebaik mungkin walaupun dengan bahasa percakapan tapi mampu menghadirkan makna yang dalam. Hanya ada satu kata yang tidak biasa diucapkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu akanan.
(b) Efoni dan Irama
Chairil bukanlah penyair yang selalu terikat pada peratturan sehingga kadang-kadang dia tak pernah memperhatikan bunyi yang ada dalam puisinya. Baginya menulis puisi itu adalah suatu kebebasan. Meskipun demikian dalam puisi ini Chairil tetap memperhatikan bunyi walau tidak terlihat secara mencolok.
Dalam puisi ini memang banyak efek kakafoninya sehingga tidak bisa dikatakan puisi merdu. Banyak bunyi yang mengandung k,p,t,s seperti kali, cinta, di antara, tua, cerita, tiang serta temali, kapal, perahu, mempercaya, berpaut, mempercepat, kelam, kelepak, pangkal, akanan, kini, tanah, tidur, tiada, aku sendiri, semenanjung, pengap, masih, sekali, tiba,sekalian, selamat, pantai, keempat, penghabisan, terdekap, dan bisa. Kata-kata itu menimbulkan efek kakafoni, meskipun terdapat rima, aliterasi dan asonansi. Seperti rima aabbccddefef , aliterasi tidak-bergerak, pengap-harap serta asonansi ini-kal dan, pada-cerita.
Gabungan beberapa unsur bunyi yang terpola tersebut menimbulkan irama yang panjang, lembut dan rendah. Karena irama tersebut menggambarkan kasedihan yang ada pada puisi terbut. Karena irama sajak juga merupakan gambaran akan suasana puisi tersebut.
(c) Bahasa Kiasan
meskipun bahasa dalam puisi ini adalah bahasa percakapan sehari-hari tetapi semuanya adalah bahasa kias. Dalam puisi ini banyak berbagai bahasa kias yang dipakai penyair untuk memperdalam makna yang ada dalam puisinya.

....................................................
di antara gudang, rumah tua pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tidak berlaut
.........................................................
........Ada juga kelepak elang
............................................
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Dari kata-kata itu terlihat adanya metafora yang memperdalam rasa duka yang dirasakan. Ketidak berdayaan itu dibandingkan Chairil sebagai sebuah gudang, rumah tua, tiang, dsan temali yang tiada berguna. Harapannya kandas bagai kapal dan perahu yang tidak melaut karena mennghempaskan diri di pantai saja. Serta kebekuan hati bagai air dan tanah yang tidur dan tidak bergerak.
Selain itu juga terdapat personifikasi pada rumah tua pada cerita, ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang, dan kini tanah dan air tidur hilang ombak dan sedu penghabisan bisa terdekap. Dari kata-kata itu penyair menghidupkan rumah tua yang seakan mampu becerita, dan menghidupkan juga kelepak elang yang mampu menyinggung perasaan orang yang sedang muram. Hari pun dikatakan penyair seakan berlari dan berenang menjauhi dia sehingga dia tidak bisa memutar balik waktu itu. Dia juga berusaha menidurkan tanar dan air sehingga merasa dalamlah kebekuan hati seseorang yang digambarkan. Semuanya ini menyebabkan hanya sendu yang bisa ia peluk bukan orangnya.
Sinekdok terlihat pada kata tiang yang sebenarnya adalah rumah, kata kapal dan perahu yang berarti pelabuhan. Kalimat dan kini tanah dan air tidur hilang ombak juga merupakan ungkapan yang hiperbola karena melebih-lebihkan kedekuan hati sang gadis itu. Bahasa kiasan tersebut sebenarnya hanya ingin mengungkapkan makna yang lebih mendalam pada pembaca.

(d) Citraan
citran yang ada dalam puisi adalah penglihatan ’imagery. Yang mengisyaratkan bahwa pelabuhan kecil itu merupakan tempat perpisahanya. Seolah-olah puisi ini membawa pembaca dengan inderanya untuk melihat suasana pelabuhan yang kecil dan seakan-akan mati. Dengan khayalan yang sudah tergambar Chairil mencoba lagi membawa pembaca lewat puisinya ke dunianya tersebut agar bisa merasahan kesedihan yang dia rasakan.
citraan penglihatan tersebut terlihat dari
diantara gudang, rumah tua pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tidak berlaut
Kalimat tersebut mengajak pembaca mendalami kesunyian yang ada dalam pelabuhan itu dengan melihat keadaan pelabuhan. Dan hal itu sesungguhnya gambaran dari kesunyian sang penyair juga.
(e) Pemikiran dalam Sajak
sajak ini merupakan luapan hati penyair yang sedih setelah ditinggal kekasihnya Sri Ayati menikah dengan seorang perwira. Hal ini merupakan pukulan bagi Chairil karena kekasih yang sangat disayanginya harus menikah dengan orang lain.
esediahan ini mungkin dirasakan Chairil terlalu mendalam sehingga semua yang ada disekitarnya dirasakan sunyi , kareena larut dalam kesunyian hatinya. Sehingga kedukaan karena cinta tersebut dibuat penyair dengan sangat plastis. Sehingga seakan-akan semua harapan dan keinginan itu hanya malah membuatnya sakit. Karena harapan untuk menjalin cinta dengan Sri Ayati itu akhirnya kandas juga. Sehingga keseluruhan cerita ini merupakan luapan kesedihan penyair.
Chairil biasanya orang yang tegar dan selalu optimis dalam segala hal tetapi dalam puisi ini dia merasa pesimis karena cintanya sudah kandas. Sehingga puisi ini seakan-akan menjadi melankolis karena sajaknya berisi tentang ratapan dan kesedihan Chairil dalam memikirkan nasib yang benar-benar sudah tak bisa lagi dirubah. Tetapi emosi Chairil yang menguasai puisi ini menyebabkan sajaknya tidak terlalu terlihat sedih.